“Cenning rara?” tanya Naya dengan alis sedikit terangkat.
Pak Ramli mengangguk. “Semacam mantra untuk menguatkan aura.”
“Saya malah tidak tahu-menahu tentang cenning rara, Pak.” Naya menceratuk dan mencabuti rumput karena semua orang memperhatikannya. Dia jengah melihat semua mata tertuju kepadanya. Pelan-pelan dia menengadah dan berkata, “Pernah dengar, sih, tetapi Naya tidak pakai begituan.”
Saya gambarkan bahwa dewasa ini banyak orang yang salah paham atas cenning rara. Rata-rata orang menyangka bahwa cenning rara semacam persekutuan dengan setan. Gunanya untuk menguatkan aura. Padahal, tidak begitu.
Setelah itu, saya uraikan perkara cenning rara dengan tedas.
“Jangan tersinggung, Naya. Cenning rara bukan sesuatu yang buruk. Dahulu kala, orang-orang selalu menunggu datangnya bulan purnama dan merayakannya penuh sukacita. Tua-muda, lelaki-perempuan, semuanya.”
Perhatikan cara saya menguraikan cenning rara. Pelan, tetapi asyik. Secara umum, cenning rara memang dipahami sebagai karisma yang memancar dari kekuatan batin seseorang. Karisma itu, konon, diserap dari cahaya purnama. Itu sebabnya disebut cenning (wajah) dan cendrara (bulan).
Guna menguatkan deskripsi data, saya comot sejarah tentang penggunaan cenning rara hingga jauh ke benua Afrika. Data itu saya masukkan ke dalam dialog, bukan ke dalam narasi. Alasan saya sederhana, menguatkan sajian data.
“Bahkan jauh dari tanah Bugis-Makassar, orang-orang kita yang dibuang Belanda ke Afrika Selatan pun masih senang bermandi cahaya purnama. Tujuannya, menyerap cenning rara.”
Setelah menggambarkan rekam perjalanan cenning rara yang menempuh ratusan tahun dan lintas benua, barulah saya kembalikan pada kondisi hari ini.
Beliau berhenti sejenak dan tersenyum. “Sekarang, kita melihat cenning rara sebagai sesuatu yang negatif. Sekadar sebagai ayat-ayat pemikat hati bagi lawan jenis. Padahal, tidak begitu.”