Pertandingan persahabatan catur kopi darat kelar. Dewa Kipas kalah dengan skor telak 0-3. GM Irene Sukandar menang. Netizen terhibur, Deddy Corbuzier meraup jutaan pemirsa.
Pertandingan itu digelar di studio siniar Deddy (Senin, 22/3/2021). Ketika babak pertama dimulai, pukul 15.00, pemirsa sudah menyentuh angka 825.000 orang. Menjelang babak pertama selesai, pemirsa sudah mencapai angka satu juta. Tayang langsung dirubungi penonton.
Selaku pengintai media sosial, bukan pengamat, saya mendapati beberapa hal menarik. Netizen yang semula berharap melihat keajaiban, akhirnya gigit jari. Sejak babak pertama, Dewa Kipas yang seharusnya bermain tanpa beban seperti terserang gugup.
Rupa-rupa komentar kontan meriuhi akun Youtube Deddy. Tayangan pertandingan meraih posisi puncak di topik tren Youtube. Bukan hanya di Youtube, tarung catur antara pemain amatir melawan pemain profesional itu juga menguasai tren pembicaraan di Twitter.
Ketika tulisan ini saya anggit, netizen yang mengomentari nama Dewa Kipas di Twitter menyentuh angka 53,3 ribu. Belum reda, tren Deddy Corbuzier menyusul. Sebuah capaian yang fantastis. Adapun di Youtube, tayangan tarung catur ini sudah dilahap 4 juta pasang mata hingga pukul 21.00 WIB. Fenomenal.
Saya tidak akan mengomentari jalannya pertandingan, apalagi menganalisisnya, sebab bukan ranah saya. Dalam artikel ringkas ini, saya cenderung ingin mengudar tanggapan netizen atas kekalahan Dewa Kipas.
Satu hal yang patut disyukuri, warganet sukses menahan diri untuk tidak mencerca Dewa Kipas. Sempat terbetik pikiran, Dewa Kipas akan menjadi muara cerca. Dituding pencari sensasilah, dianggap pecatur kaleng-kalenglah, dan semacamnya. Kasihan, kan.
Ternyata tidak. Kalaupun ada ledekan, paling banter di permukaan kulit saja. Semisal Dewa Kipas kalah karena bermain di ruangan ber-AC, bukan di ruangan berkipas angin. Ada pula yang membawa-bawa kopi tubruk dan kepul asap rokok.
Ada netizen yang menyebut penyebab kekalahan Dewa Kipas karena bermain tanpa kopi tubruk. Pesorak GM Irene tentu saja tidak terima. Pertandingan persahabatan digelar dengan adil dan jujur. Soal kopi tubruk memangh candaan belaka, bukan serangan komentar yang perlu diseriusi.
Hanya saja, saya bersyukur atas terselenggaranya tarung catur itu.Â
Pertama, saya bisa melihat langsung pertarungan. Itu semacam menemukan es limun tepat ketika leher kering kerontang. Kedua, saya bisa tertawa membaca komentar netizen. Itu hiburan yang amat menyenangkan.
Ketiga, semua pihak menang. Irene dapat cuan dan menjaga reputasi. Dewa Kipas dapat duit dan namanya melambung. Siniar Deddy mendapat limpahan iklan dan pemirsa. Permainan catur kembali riuh dan menyedot perhatian. Penonton mendapat hiburan dan fakta.
Selain itu, saya mendapat limpahan ide dan bisa menulis terpongan kaleng-kaleng. Tiga tulisan lahir gara-gara fenomena Dewa Kipas. Dua artikel terdahulu meraup rata-rata seribu pembaca. Lumayan untuk menambah pundi-pundi gagasan. Suatu ketika malah bisa menjadi cerita.
Terakhir, saya terkejut lantaran fenomena Dewa Kipas juga mengangkat citra pos ronda. Betapa tidak, kebiasaan meronda hampir susut di beberapa daerah. Poskamling, begitu nama pos ronda pada zaman Orba, kembali mendapat sorotan.
Barangkali setelah pertandingan persahabatan di siniar Deddy, pos ronda dapat menarik minat warga sebagai tempat wisata keamanan. Main catur, seruput kopi, dan bercanda hingga larut malam. Setidaknya, maling yang malang melintang akan jiper jika pos ronda ramai.
Lalu, terlintas ide konyol. Bagaimana gerangan jikalau partai kedua tarung catur antara Dewa Kipas dan Irene digelar di pos ronda? Ah, percuma. Kasihan Dadang Subur. Dia harus bisa menang dengan skor 4-0 untuk membalikkan keadaan. Semacam remontada.
Paling tidak, menang dengan skor 3-0. Biar mendapat waktu tambahan. lalu adu penalti. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H