Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bung Hatta, Buku dengan Halaman Terbuka yang Tak Kunjung Kelar Dieja

18 Maret 2021   13:49 Diperbarui: 18 Maret 2021   14:06 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tuhan, terlalu cepat semua; Kau panggil satu-satunya yang tersisa; Proklamator tercinta. ~ Iwan Fals, Bung Hatta

Begitu larik pembuka lagu bertajuk Bung Hatta. Iwan Fals mengadu kepada Tuhan. Yang tersisa akhirnya kembali kepada-Nya. Proklamator tercinta telah tiada. Namun, namanya abadi di dada anak-anak Nusantara.

Bukittinggi, 12 Agustus 1902. Bung Hatta dilahirkan. Ayahnya, H. Muhammad Djamil, mangkat kala Hatta berusia delapan bulan. Ibunya bernama Saleha. Ia satu-satunya bocah lelaki dari tujuh bersaudara.

Semasa kecil, Hatta senang sekali bermain sepak bola. Sayang, hobi menggocek si kulit bundar mesti ia kekang. Neneknya tidak senang jika Hatta keranjingan bermain bola. Beliau takut kaki Hatta cedera.

Hatta tamat sekolah dasar di Europese Lageree School (ELS) Bukittinggi. Pada usia belia, 11 tahun, ia merantau ke Padang untuk menimba ilmu di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Padang. Setelah itu, beliau pindah ke Batavia guna meneruskan pendidikan di Prins Hendrich School (PHS) Batavia.

Jangan kira ia kaya raya. Hatta sangat bersahaja. Suatu ketika ia ingin naik bendi di Stasiun Pasar Bawah. Orang-orang langsung duduk di belakang kusir, Hatta tidak. Ia tanyakan ongkos bendi. Ia tawar hingga bea bendi bisa ia bayar. Namun, harga tak kunjung cocok. Begitu tertera dalam buku Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman.

"Kalau tidak punya uang, jangan naik bendi. Jalan kaki saja," kata kusir bendi. 

Masih adakah kini pejabat tinggi negara yang meniru kebersahajaan Hatta? Tampaknya tidak ada. Kalaupun ada, pasti langka. Pejabat tinggi di republik ini enggan berpanas-panasan di jalan. Harus naik mobil berpendingin, boro-boro naik bajaj.

Bapak Proklamator Republik Indonesia (Foto: wikipedia.org)
Bapak Proklamator Republik Indonesia (Foto: wikipedia.org)

Yang Disiplin, Yang Tegas

Jangankan uang, waktu saja tidak mau "disunat" oleh Bung Hatta. Jika membuat janji bertemu dengannya, harus siap-siap tepat waktu. Jam karet tidak berlaku. Memang tepat demikian, kita harus bisa menghargai, memanfaatkan, dan mengelola waktu dengan baik.

Riwayat mencatat, seorang jenderal disemprot oleh Bung Hatta karena telat datang sesuai janji. Riwayat itu tertera dalam buku Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan. Kala itu, minggu pagi pada tahun 1946, Mayor Jenderal Moestopo diminta menghadap Bung Hatta.

Janji pukul 08.00, ternyata Moestopo telat lima menit. Itu pun telat karena mobil Moestopo ngadat dalam perjalanan. Mobil bahkan sempat didorong. Hanya lima menit, tetapi Hatta tak mengenal kompromi.

"Hai, Jenderal Moestopo, kamu itu jenderal atau bukan? Kalau jenderal, mana disiplinmu?" Hardik Bung Hatta.

Jangankan uang, amplop surat milik negara saja dilarang dipakai oleh beliau. Tersebutlah kisah ketika Gemala Rabi'ah Hatta menempuh pendidikan di Australia. Kala itu, Gemala nyambi bekerja di Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Sidney.

Pada suatu ketika, sekira Maret 1975, Gemala mengirim surat kepada ayahnya. Kertasnya punya Gemala, amplopnya milik Konsulat. Pada akhir bulan, surat balasan dari ayahnya, Bung Hatta, tiba di hadapan Gemala.

"Ada satu hal yang Ayah mau peringatkan kepada Gemala. Kalau menulis surat kepada Ayah dan yang lain-lainnya, janganlah memakai kertas Konsulat Jenderal RI. Surat-surat Gemala kan surat pribadi, bukan surat dinas."

Begitu pungkas Bung Hatta dalam balasan surat untuk putrinya, Gemala. Bagi orang lain, korupsi selembar amplop milik negara mungkin hanya dianggap dosa kecil. Bagi Bung Hatta, tidak begitu. Mau kertas, mau waktu, mau uang; jika milik negara, jangan dikorupsi.

Bung Hatta, penulis yang produktif (Foto: republika.co,id)
Bung Hatta, penulis yang produktif (Foto: republika.co,id)

Yang Berjuang, Yang Berpikir

Bung Hatta mangkat pada 14 Maret 1980. Ketika beliau pergi untuk selamanya, Iwan Fals punya gambaran duka yang sangat membekas dalam ingatan. Hujan air mata dari pelosok negeri; saat melepas engkau pergi; berjuta kepala tertunduk haru.

Pada hari itu, 41 tahun lalu, Indonesia kehilangan salah seorang putra terbaiknya. Bung Hatta wafat dalam usia 78 tahun. Sepanjang usianya, beliau mencurahkan seluruh pikirannya untuk bangsa dan negara yang ia cintai.

Beliau seorang penulis. Apa yang terbetik dalam pikirannya, beliau tulis. Gagasan untuk kemajuan bangsa, beliau tulis. Pemikiran untuk kebaikan bersama, beliau tulis. Semuanya beliau tulis. Terus, terus, terus begitu hingga beliau berpulang ke haribaan-Nya.

Sepanjang hayatnya, Bung Hatta menulis 169 judul buku. Cendekia tiada banding, pemikir tiada tanding. Buku pertamanya terbit pada 1926. Kala itu beliau berusia 24 tahun. Namun, usia tidak menggerus ketekunan beliau. Tatkala memasuki tahun terakhir hidupnya, beliau menulis 11 buku.

Sebanyak 108 bukunya diterbitkan di Jakarta; 11 judul di Yogyakarta; 8 judul di Bandung; 5 judul di Bukittinggi; 4 judul di New York; 2 judul di Barkeley; dan 2 judul di Den Haag. Bahkan bukan rahasia lagi, beliau meminang istrinya dengan mahar sebuah buku.

Patut pula kita kenang, beliau menerbitkan buku pertama tatkala berusia 26 tahun. Buku itu ia karang ketika berada di dalam penjara. Buku itu berisi pembelaan dirinya ketika menghadapi sidang pengadilan di Den Haag pada 28 Maret 1928. Masih muda dan menulis di penjara. Buku itu berjudul Indoniesie Vriej atau Indonesia Merdeka.

Hari ini, berapa banyak pejabat tinggi negara yang bisa mengikuti jejak beliau? Mungkin ada, tetapi jumlahnya pasti tidak seberapa. Mungkin bisa dihitung jari.

Bung Hatta dan istri yang dipinangnya dengan sebuah buku (Foto: nationalarchief.nl)
Bung Hatta dan istri yang dipinangnya dengan sebuah buku (Foto: nationalarchief.nl)

Wasana Kisah

Terbayang baktimu, terbayang jasamu; terbayang jelas jiwa sederhanamu. Begitulah Iwan Fals mengenang Bung Hatta. Beliau adalah teladan bagi semua. Beliau telah meneladani kita norma dan nilai yang tiada tepermanai.

Adakah teladan yang beliau curahkan sudah kita tiru? Kalaupun belum, semoga hati kita tergerak dan tubuh kita bergerak. Beliau,, Bung Hatta, adalah buku dengan halaman terbuka yang tak pernah tamat kita baca. Beliau meninggalkan dan menanggalkan warisan berharga: cara mencintai Indonesia.

Bernisan bangga, berkafan doa; dari kami yang merindukan orang sepertimu. Ya. Kita, seluruh rakyat Indonesia, selalu merindukan orang-orang seperti beliau. Moga-moga akan ada, moga-moga tetap ada! [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun