Rasanya lega sekali. Pulang kampung. 16 September 2016. Tiba kembali di tanah kelahiran. Kala melihat tanah-tanah yang dikerontangkan kemarau, kala melihat batang-batang lontar digoyang angin, kala melihat sanak kerabat tersenyum semringah. Rasanya lega sekali.
Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini saya lebih lama di kampung. Hampir seminggu. Selain riset untuk buku memoar, saya juga punya agenda pribadi. Saya bermimpi ada pustaka bergerak di tanah kelahiran. Saya berharap ada pustakawan yang rela meluangkan waktu.
Bukan apa-apa, tanah kelahiran saya kerap dipandang sebelah mata. Jeneponto. Itulah daerah tempat saya dilahirkan dan dibesarkan. Orang-orang sering menyebutnya "Turatea". Kata dari bahasa Makassar itu jika diindonesiakan akan menjadi "orang yang di atas".
Sekalipun disebut Turatea, orang-orang Jeneponto tenar dengan gelar "pakbambangang na tolo". Artinya "mudah marah dan bodoh". Padahal kata itu bisa berubah makna, asalkan penulisan dan pelafalannya berubah. Pakbambangang na tolok. Artinya "peka dan jago".
Namun, tabiat orang Turatea tiada berbeda dengan batang lontar: keras di luar, lembut di dalam. Kulit batang bagian luar memang heras keras untuk melindungi hati yang lembut. Seperti lontar, orang Turatea juga tahan banting, tahan menderita, dan tahan pukul.
Tidak heran jika karakter orang Turatea keras-keras. Bayangkan saja. Hingga sekarang masih ada anggapan "lebih baik dimarahi orang Bone daripada dicintai orang Jeneponto". Orang Bone kalau marah masih bersuara pelan, orang Turatea sekalipun menyatakan cinta suaranya keras.
Rasanya lega sekali. Apalagi jika sanggar seni tumbuh dan berkembang. Sebagai inisiator Teater Tubaranina Turatea (Teater Tutur)Â semasa remaja, saya berharap generasi setelah saya tidak kehilangan jati diri; tidak kehilangan akar lontar. Itulah musabab mengapa saya saya ingin pulang kampung.
Tradisi membaca
Sekalipun dari keluarga miskin, banyak anak-anak yang ingin membaca. Sayangnya, akses atas bahan bacaan sangat terbatas. Kalaupun dapat uang, bocah-bocah Turatea lebih condong beli makanan atau mainan daripada membeli buku. Itu manusiawi.
Saya tidak mengada-ada. Semaca bocah, saya merasa meriang jika tidak membaca dalam satu hari. Apa saja saya baca. Ponakan-ponakan saya juga begitu. Banyak yang mau membaca, tetapi tidak punya sesuatu untuk dibaca. Paling-paling lari ke perpustakaan.
Itulah alasan mengapa saya berniat menggalakkan kembali tradisi membaca di Turatea. Namun, saya tidak mungkin bergerak sendirian. Saya perantau. Suatu saat pasti meninggalkan kampung. Maka saya datangi rumah teman semasa remaja.
Gayung bersambut. Di pekarangan rumah Irsyam kami godok kemungkinan membangun pustaka bergerak. Turut hadir seorang pemuda enerjik: Subair Sirua. Aktivis lingkungan itu bergabung dengan kami. Makin buncah ide, makin deras imaji.
Saya sendiri kebagian Kampung Kalumpang. Takdir membawa saya ke sana. Di kampung itulah seorang sastrawan ternama lahir dan dibesarkan. Arena Wati. Sastrawan yang merantau ke negara jiran, Malaysia. Di sana beliau diangkat menjadi Sastrawan Kebangsaan.
Mengumpulkan buku
Selama tiga bulan pertama setelah berdiri, sukarelawan PBK aktif menggulirkan pustaka bergerak. Buku-buku diantar ke pelosok desa. Anak-anak dan remaja diajak bersentuhan dengan buku. Mereka membaca dan menelaah apa yang mereka baca.
Tiga bulan kedua, sukarelawan PBK menggalang kegiatan yang bertujuan meningkatkan kapasitas literasi atau keberaksaraan. Lomba melukis bagi anak-anak, kursus bahasa Inggris, kelas matematika dan sains, kelas mendongeng, dan aktivitas berkesenian.
Pada gilirannya, seluruh aktivitas yang dijalankan dapat menjadi simpul utama kebangkitan masyarakat Jeneponto terkait kapasitas sumber daya manusia. Bermula dari kegiatan memicu minat baca, mendekatkan masyarakat atas akses bacaan, memantik keterampilan khusus terkait literasi, hingga kemampuan literasi digital.
Jika hal-hal tersebut dapat terpenuhi, setidaknya Pustaka Ballak Kana turut berpartisipasi aktif dalam upaya mencerdaskan anak bangsa. Meskipun demikian, upaya tersebut tidak berlangsung dengan mudah. Buku-buku, misalnya, dikumpulkan dari rumah ke rumah. Ada pula donasi dari jaringan Pustaka Bergerak dan inisiatif personal.
Di sisi sukarelawan, mentor kegiatan kelas menulis, matematika, dan berbahasa sebagai bagian dari kecerdasan literasi, tumbuh dan berkembang perlahan-lahan. Sekalipun perlahan, hal tersebut merupakan tolok ukur positif bagi Pustaka Ballak Kana untuk terus bergerak.
Anak-anak lelaki juga mahir berkesenian. Lucky, Wiwin, dan Rifky kian piawai menabuh gendang. Tunrung Pakanjarak dan tunrung rincik, nama tabuhan gendang Makassar, sudah mereka kuasai. Mereka menjadi lelaki panggilan: mengisi acara yang membutuhkan pemain gendang.
Kreativitas tanpa batas
Selain itu, anak-anak muda dalam lingkaran Pustaka Ballak Kana juga aktif berjejaring. Mereka rutin berkomunikasi dengan sesama pengelola Taman Bacaan Masyarakat, bahkan lintas ormas kepemudaan. Satu misi yang tengah kami galang: menghijaukan Turatea.
Mulai dari mana? Dari tiap-tiap rumah anggota. Dari situ dulu. Teman-teman juga mulai belajar memanfaatkan barang-barang bekas. Ban mobil misalnya, disulap menjadi pot bunga. Hasilnya dijual. Lumayan untuk mengisi dompet dan menambah kas PBK untuk membeli buku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H