Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pulang Kampung Bangun Literasi

16 Maret 2021   16:47 Diperbarui: 16 Maret 2021   17:01 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Iksan saat angngaru, tradisi membaca ikrar setia (Foto: Dokri)

Rasanya lega sekali. Pulang kampung. 16 September 2016. Tiba kembali di tanah kelahiran. Kala melihat tanah-tanah yang dikerontangkan kemarau, kala melihat batang-batang lontar digoyang angin, kala melihat sanak kerabat tersenyum semringah. Rasanya lega sekali.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun ini saya lebih lama di kampung. Hampir seminggu. Selain riset untuk buku memoar, saya juga punya agenda pribadi. Saya bermimpi ada pustaka bergerak di tanah kelahiran. Saya berharap ada pustakawan yang rela meluangkan waktu.

Bukan apa-apa, tanah kelahiran saya kerap dipandang sebelah mata. Jeneponto. Itulah daerah tempat saya dilahirkan dan dibesarkan. Orang-orang sering menyebutnya "Turatea". Kata dari bahasa Makassar itu jika diindonesiakan akan menjadi "orang yang di atas".

Sekalipun disebut Turatea, orang-orang Jeneponto tenar dengan gelar "pakbambangang na tolo". Artinya "mudah marah dan bodoh". Padahal kata itu bisa berubah makna, asalkan penulisan dan pelafalannya berubah. Pakbambangang na tolok. Artinya "peka dan jago".

Wiwin dan Wahyu: gendang dan suling, keras dan lembut (Foto: Dokpri)
Wiwin dan Wahyu: gendang dan suling, keras dan lembut (Foto: Dokpri)
Pakbambangang berkaitan dengan sensitivitas atau kepekaan. Tolok adalah nama pejuang yang kemudian berubah menjadi label bagi orang-orang yang pemberani dan jagoan. Kepekaan itu memang erat dengan orang Turatea. Jangan singgung harga diri, sebab mereka rela mati.

Namun, tabiat orang Turatea tiada berbeda dengan batang lontar: keras di luar, lembut di dalam. Kulit batang bagian luar memang heras keras untuk melindungi hati yang lembut. Seperti lontar, orang Turatea juga tahan banting, tahan menderita, dan tahan pukul.

Tidak heran jika karakter orang Turatea keras-keras. Bayangkan saja. Hingga sekarang masih ada anggapan "lebih baik dimarahi orang Bone daripada dicintai orang Jeneponto". Orang Bone kalau marah masih bersuara pelan, orang Turatea sekalipun menyatakan cinta suaranya keras.

Rasanya lega sekali. Apalagi jika sanggar seni tumbuh dan berkembang. Sebagai inisiator Teater Tubaranina Turatea (Teater Tutur) semasa remaja, saya berharap generasi setelah saya tidak kehilangan jati diri; tidak kehilangan akar lontar. Itulah musabab mengapa saya saya ingin pulang kampung.

Iksan saat angngaru, tradisi membaca ikrar setia (Foto: Dokri)
Iksan saat angngaru, tradisi membaca ikrar setia (Foto: Dokri)

Tradisi membaca

Sekalipun dari keluarga miskin, banyak anak-anak yang ingin membaca. Sayangnya, akses atas bahan bacaan sangat terbatas. Kalaupun dapat uang, bocah-bocah Turatea lebih condong beli makanan atau mainan daripada membeli buku. Itu manusiawi.

Saya tidak mengada-ada. Semaca bocah, saya merasa meriang jika tidak membaca dalam satu hari. Apa saja saya baca. Ponakan-ponakan saya juga begitu. Banyak yang mau membaca, tetapi tidak punya sesuatu untuk dibaca. Paling-paling lari ke perpustakaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun