Kalaupun tafsir saya keliru, hal itu hanya mungkin terjadi apabila ada frasa atau klausa yang tidak ditampilkan di sumber berita. Saya kesulitan mencari komentar AM lantaran sudah dihapus. Nah, akan menjadi masalah besar apabila memang hanya itu komentar AM.
Kenapa bermasalah? Sebab, TPV Polresta Surakarta bertindak seperti polisi lalu lintas. Pesepeda motor tidak memakai helm, semprit. SIM dan STNK tidak terbawa, tilang. Berhenti di tempat yang terlarang, semprit.Â
Masalah berikutnya muncul karena cara PTV Polresta Surakarta menangani perkara. Oke. Mari berandai-andai. Anggaplah AM memang benar menyebut "dikasih jabatan oleh bapaknya". Apakah ia sudah ditanyai alasan dan tujuan kenapa ia berkomentar seperti itu?
Jika ternyata AM tidak menyebut "dikasih jabatan oleh bapaknya", TPV Polresta Surakarta harus berani meminta maaf kepada AM. Permintaan maaf itu mesti divideokan dan ditayangkan juga di akun Instagram milik polresta, sama seperti yang dilakukan oleh AM.
Bukan hanya itu. Keberadaan Polisi Virtual yang mengurusi hal sedemikian justru dapat melukai kebebasan berpendapat. AM tidak diberikan ruang lapang untuk menyatakan apa sebab sehingga ia berkomentar seperti itu dan apa tujuan komentarnya.
Jikalau hal seperti ini terus dibiarkan, Tim Polisi Virtual akan mengobok-obok ruang diskusi. Kelak tidak akan ada ruang di media sosial untuk mengkritik sesuatu. Sedikit-sedikit main ciduk. Apa-apa main bekuk. Semoga saya keliru! [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H