Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kontroversi Amien Rais, Celetukan Gus Dur, dan Gelandangan Politik

15 Maret 2021   08:00 Diperbarui: 15 Maret 2021   08:15 9619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tom dan Jerry. Ya. Begitulah gambaran hubungan Amien Rais dan Gus Dur. Berteman kendatipun tidak mesra.

Pada suatu ketika, seperti ramai dibincangkan banyak orang, Gus Dur pernah menceletukkan hal yang sangat menyentuh hati. Kata beliau, “Preman-preman itu akan menjadi gelandangan politik seumur hidupnya!”

Celetukan itu syahdan diucapkan oleh Gus Dur tatkala Amien Rais memimpin Sidang Istimewa di MPR. Sidang itu akhirnya melengserkan Gus Dur dari kursi presiden. Gus Dur bak ingin berkata, “Duhai Amien, engkau yang mulai engkau pula yang mengakhiri.”

Tidak, tidak. Saya tidak mengatakan bahwa celetukan Gus Dur ditujukan kepada Amien Rais. Tidak begitu. Namun melihat konteks percaturan politik saat itu, menilik Amien Rais yang memelopori barisan pelengser Gus Dur, bolehlah disebut Amien terikut dalam “preman politik” itu.

Berbicara tentang Amien Rais dengan segala kontroversinya memang tiada habis-habisnya. Bak sumur dengan mata air terus memancur. Hal itu terpantik gara-gara kebiasaan Amien Rais yang sering mengoceh tanpa saringan. Mungkin ada saringan, tetapi sudah koyak-koyak.

Jadi, begini ceritanya. Tepat ketika saya merayakan hari kelahiran ke-23, 10 November 1998, empat tokoh berunding di Ciganjur. Gus Dur, Amien Rais, Megawati, dan Sri Sultan Hamengku Buwono. Mereka bercakap-cakap soal akan dibawa ke mana gerbong reformasi.

Percakapan hangat itu akhirnya menghasilkan delapan butir pernyataan. Isinya tentang pokok pemikiran reformasi. Namanya keren. Deklarasi Ciganjur. Dari situ terlihat, Gus Dur dan Amien Rais bisa bercakap-cakap dengan hangat.

Pada saat gencar-gencarnya wacana tentang pemilihan presiden, Amien Rais menggalang Poros Tengah. Calonnya, Kiai Haji Abdurrahman Wahid. Ya, Poros Tengah akan mengusung Gus Dur sebagai calon presiden pada Sidang Umum MPR.

“Saya akan tercatat dalam sejarah modern sebagai politisi penipu jika pencalonan Abdurrahman Wahid hanya taktik dari saya belaka untuk berbalik merebut kursi presiden,” kata Amien Rais.

Sejarah akhirnya mencatat. 20 Oktober 1999. Gus Dur terpilih menjadi Presiden keempat Republik Indonesia. Sidang Umum MPR sepakat mengangkat beliau menjadi presiden, sedangkan wakilnya adalah Megawati Sukarnoputri. Sah.

“Sayalah orang pertama yang akan mempertahankan Gus Dur sebagai presiden sampai 2004,” ujar Amien Rais yang dilansir Tempo.co.

Benarkah demikian? Ternyata tidak. Bukan Amien Rais namanya jikalau sepi dari kontroversi. Tiap-tiap hari bagi Amien Rais mesti bertabur kontroversi. 23 Juli 2001. Setelah sebulan wira-wiri, seusai menyatakan akan mengawal Gus Dur hingga 2004, Amien akhirnya menaatakan, “Insyaallah besok kita akan punya presiden baru.”

Begitulah kisahnya. Amien yang memulai, Amien juga yang mengakhiri. Tidak heran jika Gus Dur geleng-geleng kepala. Tidak heran juga apabila Gus Dur heran melihat orang-orang berebut kursi atau jabatan. Gus Dur heran melihat orang-orang mengejar jabatan dengan modal uang miliaran. 

“Saya jadi presiden tidak membawa modal apa-apa. Hanya modal dengkul. Itu pun dengkulnya Amien Rais,” kata Gus Dur yang saya kutip dari islami.co.

Kiprah Amien dan Poros Tengah bisa mematahkan dominasi partai pemenang pemilu, PDIP. Bisa pula mengantar Gus Dur ke kursi presiden. Namun, ada fakta lain. Amien pula yang menyorong Gus Dur agar jatuh dan terjungkal dari kursi presiden itu.

Apakah Gus Dur sewot? Di luar tidak. Saya percaya, di dalam hati juga tidak. Beliau melenggang dengan celana pendek dan kaos abu-abu meninggalkan Istana Negara. Beliau hanya melambaikan tangan. Tidak ada orasi pemicu semangat, sungguhpun pendukung rela mati demi beliau.  

“Tidak ada jabatan di dunia ini yang harus dipertahankan mati-matian, apalagi sampai menumpahkan darah orang Indonesia,” kata Gus Dur yang saya nukil dari nu.or.id.

Beliau legawa. Beliau biasa-biasa saja. Tidak kolokan, tidak mengamuk. Alih-alih mengajak para pendukung marah berjemaah, Gus Dur malah menunjukkan kesantunan dan kearifan berpolitik. Hubungan beliau dengan Amien Rais yang memiutangkan dengkul pun tidak renggang.

Bisa jadi, entah benar entah tidak, beliau meluncurkan celetukan profetik yang tenar hingga sekarang. Gelandangan politik. Bisa jadi begitu. Profetik, ya, lantaran celetukan itu mengandung ramalan. Hasilnya, sebagaimana beberapa seloroh profetik Gus Dur lainnya, terbukti menjadi kenyataan.

11 Februari 2020. Amien Rais tergusur dari partai yang ia dirikan. Amien terdepak dari PAN, partai yang ia besarkan. Oh, itu belum seberapa. Beliau digusur oleh anak buah yang belajar politik darinya. Beliau didepak oleh besannya sendiri, Zulkifli Hasan. Sakitnya tuh di situ, di hati Amien Rais. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun