Selain kuningisasi, istilah lamtoronisasi, spiralisasi, dan turinisasi turut menggalak. Pendek kata, apa saja gerakan yang digalakkan oleh pemerintah akan disemati bentuk terikat "-isasi". Â
Ketiga, gerakan mawas diri. Gerakan ini dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Tidak heran jika ajakan mawas diri sontak disambut baik oleh berbagai kalangan. Pejabat yang tidak menyukseskan istilah mawas diri bisa kena sentil. Lucunya, wawasan tetap digunakan. Jikalau mau konsisten keliru, mestinya kata wawasan ditukar dengan mawasan.
Anehnya, dosen bahasa pun memakai mawas diri. Mereka lupa bahwa kata yang tepat adalah wawas diri. Akibat dosen keliru, mahasiswa juga ikut keliru. Sebagian mahasiswa kelak menjadi guru. Murid-muridnya nanti serempak memakai mawas diri. Terjadilah kekeliruan massal. Terjadi hingga hari ini.
Keempat, penghalusan derita. Ketika kemampuan ekonomi masyarakat menurun, rezim Orde Baru sontak mengajak masyarakat untuk bersama-sama "mengencangkan ikat pinggang". Istilah itu, syahdan, berasa lebih patriotik dibanding berhemat.
Lucunya, anggota keluarga Kerajaan Cendana tidak ikut mengencangkan ikat pinggang. Bisnis si sulung Tutut makin menggurita. Bambang juga begitu. Tommy merajalela lewat Humpuss. Tiga putra Bos Besar itu sempat masuk dalam jajaran 10 besar orang terkaya di Indonesia.
Jika terjadi malapetaka kelaparan, kata "kelaparan" entah mengapa dan bagaimana bisa tiba-tiba hilang dari peredaran. Istilah yang digunakan seragam: kekurangan bahan pangan. Ya, tidak salah. Orang-orang yang kelaparan memang kekurangan makanan.
Pada masa itu, ketertiban umum menjadi perisai pemerintah untuk menertibkan siapa saja yang melawan, membantah, atau menyanggah keinginan pemerintah. Kepemimpinan Bos Besar Orde Baru benar-benar kaku. Militer menjadi tangan kanan beliau.
Pada masa itu, kritik disamaratakan dengan penghinaan; demonstrasi disebut sebagai upaya merongrong wibawa pemerintah, jadi sama dengan memicu instabilitas; menulis pemikiran malah disetarakan dengan mengangkat senjata.
Orde Baru memang identik dengan militer. Saking identiknya sampai-sampai membudaya. Budaya militerisme, dalam kacamata Ariel Heryanto (200:250) ditandai oleh rasa takut yang memasyarakat dan menonjolnya simbol kekerasan, kekuasaan, atau kejantanan.Â
Hasilnya, pengebirian hak bersuara, berpendapat, dan berserikat. Siapa pun yang mengkritik pemerintah, dalam hal ini rezim Orde Baru, akan berhadapan dengan peluru. Jika tidak dilarang tampil, akan dipenjarakan. Rendra sering mengalamai pelarangan tampil membaca puisi. Widji Thukul "dihilangkan". Â