"Saya mengajak para kader untuk berjuang bersama, berjuang sampai keadilan benar-benar kita dapatkan di tanah Indonesia ini. Ibarat peperangan, perang yang kita lakukan adalah perang yang dapat dibenarkan. Sebuah war of necessity. Sebuah just war. Perang untuk mendapatkan keadilan," kata Susilo Bambang Yudhoyono.
SBY sudah terang-terangan menantang duel. Ia marah besar. Ia berang bukan kepalang. Betapa tidak, rumahnya berasa dimasuki maling. Anehnya, hanya satu benda yang dirusak perompak. Kursi. Meski begitu, cukuplah kursi sebagai alasan untuk mengajak perang.
Perang untuk mendapatkan keadilan. Begitu saripati tantangan SBY kepada Moeldoko alias MDK. Bukan perang biasa. Bukan perang kaleng-kaleng. Bukan perang abal-abal. Benar-benar perang. Tinggal dibubuhi klausa "berperang sampai tetes darah penghabisan", jadilah puputan.
Kader Partai Demokrat kubu AHY sontak merapatkan barisan. Sejumlah DPD kontan menyatakan siap berperang. Mereka seperti ingin mengatakan "kamu jual kami beli" kepada Moeldoko. Tidak hanya perang kata-kata lewat corong media, melainkan benar-benar perang.
Ni'matullah, Ketua DPD Partai Demokrat Sulawesi Selatan:
"Kami di Sulsel menyatakan siap perang. Mohon petunjuk kepada Ketum, karena kami di Sulsel tidak suka bertengkar mulut, tradisi kami baku tikam."
Ngeri. Jika pernyataan baku tikam sudah terlontar, badik pasti disiapkan. Mustahil baku tikam dengan memakai kepalan. Pasti pakai badik. Ni'matullah terang berang kepada MDK. Barangkali ia juga siap berkelahi dalam sarung melawan MDK.
Iti Octavia Jayabaya, Ketua DPD Partai Demokrat Banten:
"Banten tidak gentar. Kami tetap setia kepada Ketum kami yang ganteng. Kalaupun kami harus turun berdemo, kami siap. Santet Banten akan dikirim untuk KSP Moeldoko."
Ngeri. Jika sudah menyatakan perang, pantang ludah dijilat kembali. Tidak bisa baku dapat dan baku tikam, santet segera dikirim. Itu puncak kemarahan Iti. Bupati Lebak tidak main-main. Mau gulat oke, gelut pun oke. Jual beli tinju oke, santet juga oke. MDK mesti siaga penuh.
Dua pernyataan elite Partai Demokrat di atas menunjukkan mereka cepat tanggap pada seruan SBY. Tidak main-main. Bukan mencari muka. Pada satu sisi menunjukkan dengan jernih kesetiaan bawahan kepada Kumendan AHY, pada sisi lain menunjukkan kebiasaan main hakim sendiri.
Apakah semua persoalan harus kita selesaikan dengan baku sambit atau baku santet? Aduhai, dunia fana ini masih gelanggang bagi kekuasaan. Kehormatan hanya lapisan pertama. Kekuasaan target tembaknya. Kita seperti menguasakan keadilan kepada kesaktian dukun.
Ni'matullah mesti mendalami kembali tradisi orang Sulsel. Baku tikam itu jalan terakhir. Jangan pandir, Tuan. Ingat-ingatlah falsafah tiga ujung. Jika dua pihak bertikai, baku bicara dulu pakai ujung lidah. Kalau gagal, baku damai. Lakukan perkawinan, gunakan ujung laso (baca: kontol). Masih gagal, baru baku tikam. Pakai ujung badik.
Iti mesti mendalami kembali strategi perang untuk mendapatkan keadilan. Santet bukan jalan terbaik. Hari gini masih pakai santet? Amboi. Teknologi makin canggih, bola api masih terngiang. Orang sudah berak di bulan, kita masih sibuk mencari jalan menuju zaman batu.
Putus asa boleh, asal jangan langsung potong kompas. Kekerasan, sehebat apa pun, tidak bisa menyelesaikan persoalan. Salah-salah menimbulkan masalah baru. Teladan hendaknya lahir dari kalangan pemimpin. Giliran remaja tanggung tawuran, kalian mencak-mencak.
Ah, sudahlah. Ni'matullah dan Iti tidak salah. Mereka hanya memenuhi seruan Kumendan SBY. Jadi yang salah adalah SBY? O, tidak. SBY tidak salah. Ia hanya ingin menjaga martabat keluarga dan partai. Gara-gara Moeldoko menerima pinangan menjadi Ketum Partai Demokrat versi KLB Deli Serdang.
Jadi yang salah adalah MDK? O, tidak. Moeldoko tidak salah. Ia hanya membela diri akibat terus-terusan disentil oleh AHY. Berarti AHY yang salah? Bukan begitu. AHY tidak salah. Ia hanya berusaha mempertahankan kursi yang tengah didudukinya.
Baiklah, saya yang salah. Baku tikai dalam politik merupakan hal biasa. Kenapa pula saya sibuk memikirkan hal begitu. Mending memikirkan risiko dapur. Tunggu, saya juga tidak salah. Pembacalah yang salah, ya, pembaca. Kenapa pula kalian baca tulisan receh ini?! [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H