Kawan, jikalau kamu tipis kuping maka sebaiknya tinggalkan artikel ini. Serius. Saya khawatir nanti kamu kejang-kejang. Kemudian, uring-uringan dan misuh-misuh di dalam hati. Lalu, dendam kepada saya. Bahaya. Makan hati sendiri itu susah. Repot. Ribet.
Alinea pembuka di atas adalah penaifan alias disklaimer dari saya. Kalau nanti kamu membaca artikel ini hingga tuntas lantas kecele, kecewa, dan kesal, saya tidak bertanggung jawab. Serius. Hati keruh bisa mengancam keselamatan fisik, lo. Pelik. Ribet.
Kenapa pada judul artikel ini saya terakan kata “ghosting”? Tenang. Jangan kalut. Apalagi panik sampai menggerundel dan menggerunyam. Lalu, menyebut saya lelaki tidak konsisten, plinplan, atau plintat-plintut. Kemarin bilang jangan keminggris, sekarang pakai kata ghosting.
Kamu benar. Saya tengah dihajar gelombang plinplan. Gamang. Bukan apa-apa, saya cemas kalau-kalau artikel saya akan menyudutkan atau memojokkan segelintir orang. Kasihan. Dosa saya menumpuk. Terlalu buanyak. Bilangannya melebihi debu yang beterbangan tak kasatmata.
Jadi, begini. Kalau kamu putuskan ingin membaca artikel hingga rampung, persiapkan hatimu untuk bermain-main di taman kata. Ingat, bermain-main. Bukan berserius-serius. Riang hati saja, bukan berkerut kening. Begitu, dong. Masam-mesem saja kalau sukar tersenyum.
Kata ghosting tengah merajalela. Apalagi kemarin jagat mayantara sempat heboh gara-gara Kaesang. Tunggu dulu. Ada kata unik, Kawan. Mayantara. Apa artinya? Dalam bahasa Inggris bisa disebut cyberspace. Artinya, dunia yang bercirikan hubungan antara dua atau beberapa pihak tanpa pertemuan fisik.
Oke? Sip. Kita kembali pada ghosting dan Kaesang. Ah, kita bahas ghosting saja. Kaesang biar diurus oleh Ibu Iriana dan Bapak Joko Widodo. Sepakat, ya? Asyik. Terima kasih. Penggunaan kata ghosting belakangan kian marak. Bukan hanya di Kompasiana, melainkan di antero mayantara.
Sebagai hamba sahaya yang hidup di Nusantara, saya tentu ingin urun saran soal penggunaan kata ghosting. Memang hingga hari ini belum ada terjemahan kata yang baku atau padanan yang pas untuk kata ghosting dalam bahasa Indonesia, termasuk di KBBI.
Banyak usulan yang bisa kita agihkan. Mari kita mulai dari kata dasarnya dulu, ghost. Arti sederhananya hantu. Jiwa tanpa raga. Atma tanpa tubuh. Meriam-Webster menyebutnya: a disambodied soul. Ada jiwanya, tidak ada raganya. Kira-kira begitu.
Bagaimana dengan ghosting? Mari kita mulai dari makna formalnya. Meriam-Webster memakai definisi: a faint double image on a television screen or other display. Berarti, bayangan ganda yang tampak samar di layar televisi atau tampilan lainnya.
Secara formal, kata ghosting biasa digunakan di dunia desain. Hitungannya masuk dalam kategori istilah teknik. Ketika sebuah gambar terbentuk menjadi beberapa bagian yang berulang di layar monitor, itulah ghosting. Efeknya membuat gambar tampak berbayang.
Bagaimana dengan makna informalnya? Meriam-Webster menggunakan definisi ini:
“The act or practice of abruptly cutting off all contact with someone (such as a former romantic partner) by no longer accepting or responding to phone calls, instant messages, etc.”
Ketemulah definisinya. Jikalau teman atau pasanganmu mendadak memutuskan semua kontak, menolak panggilan telepon, tidak menanggapi pesan singkat, dan tidak membalas salam yang kautitip lewat orang lain, itulah ghosting.
Singkat kata, menghilang tanpa pesan. Kabur tanpa kabar. Pergi tanpa pamit. Kalau mau lebih santai, ngacir sebelum ngocol. Itulah makna kata ghosting dalam tataran informal. Enteng, kan? Nah, sekarang saatnya kita ulik padanan ghosting.
Berdasarkan maknanya, padanan kata ghosting yang bisa kita agihkan adalah menghilang. Orang yang menghilang dari kitaran kamu pasti tiba-tiba. Mustahil pamitan. Kalau pamit sebelum pergi namanya meminta doa restu. Boleh jadi minta ongkos.
Usulan kedua, meraib. Seseorang yang raib dari hadapanmu tanpa menanggalkan jejak apa-apa, ya, berarti kebangetan. Kalau memang sayang, o, kenapa pergi tanpa pesan. Kalau memang cinta, duh, kenapa raib begitu saja. Kalau memang akrab, ah, kenapa harus gaib tanpa berita.
Usulan ketiga, menghantu. Ada dalih kuat yang dapat kita kemukakan. Orang yang sekonyong-konyong pergi dan tiada berkabar dapat menimbulkan perasaan resah dan gelisah. Bisa karena cemas, bisa gara-gara sewot. Pada titik ini, dapat pula kita sodorkan kata menyetan. Sewot, kan? Hehehe.
Patut kita camkan, ghosting bukan hanya terkait dengan cinta-mencintai. Kerabat bisa saja pergi tanpa pamit karena alasan tertentu. Gedek gara-gara warisan, misalnya. Sahabat bisa saja pergi tanpa kabar apa-apa. Takut dikejar tagihan, misalnya.
Bagaimana dengan di-ghosting? Makin menarik. Jika menghilang kita jadikan padanan ghosting dalam bentuk kata kerja aktif, berarti kita mesti pula menawarkan padanan kata kerja pasifnya. Tenang. Ada satu kata yang sangat dekat dengan makna di-ghosting. Kata itu ialah digantung.
Kalau seseorang yang kamu sayangi sepenuh hati mendadak hilang ditelan rimba, berarti kamu sedang digantung. Itu makna kias. Bukan digantung dalam arti dililitkan tali ke leher, bukan. Nah, digantung merupakan bagian paling tidak menyenangkan dalam satu hubungan. Entah hubungan pertemanan, entah hubungan percintaan. Perih!
Bagaimana dengan Kaesang?
Ah, sudahlah. Tadi saya sudah menyatakan bahwa biarkan Kaesang menjadi bagian domestik dari rumah tangga Ibu Iriana dan Bapak Jokowi. Kalaupun benar bahwa Kaesang telah “menyetan” atau “menghantu” atau “menghilang” dari mata Felicia Tissue, urusan mereka saja. Oke? Mantap!
Begitulah, Kawan. Usulan di atas tentu masih patut diperbincangkan. Kalau perlu, diperdebatkan. Asal jangan bersitegang atau menggebuk-gebuk meja. Bincang dan debat santai saja. Kalau bisa sembari mengenang lagu lawas Dewa 19. Kamu seperti hantu, terus menghantuiku. Ke mana pun tubuhku pergi, kau terus menghantui aku. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H