Minggu, 28 Februari 2021. Seorang algojo koruptor mangkat. Dr. Artidjo Alkostar, S.H., LLM. Pendekar hukum itu berpulang ke rahmatullah. Dunia hukum Indonesia berduka. Namanya tergurat dengan tinta emas. Sepak terjangnya abadi dan terkenang sepanjang masa.
Beliau lahir pada 22 Mei 1949 di Situbondo, Jawa Timur. Orangtuanya berasal dari Sumenep, Madura. Setelah menamatkan sekolah menengah di SMA Asem Bagus Situbondo, beliau melanjutkan pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Selepas kuliah ia mengajar almamaternya. Selain itu, beliau juga aktif selaku pengacara di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.
Tidak kenal takut. Begitulah banyak orang mengenal beliau. Urat takut di tubuh beliau tampaknya sudah putus. Kalaupun masih ada, darah takut sudah mengering. Semasa menjadi pengacara, maut kerap mengintai ke mana saja ia pergi.
Tidak kenal kompromi. Begitulah orang-orang mengenang beliau. Matanya tidak silau pada tumpukan rupiah. Hatinya tidak mempan dibujuk dengan segudang harta. Apalagi semasa diangkat menjadi Hakim Agung pada tahun 2000. Suap membayangi ke mana saja ia pergi, tetapi pendirian beliau sekukuh karang.
Berikut saya sarikan sembilan fakta tentang Pendekar Hukum Artidjo Alkostar. Fakta yang saya saring dari berbagai sumber. Fakta untuk mengenal dan mengenang beliau. Fakta yang dapat dicontoh para hakim dan penegak hukum. Fakta yang bagaikan mata air di tengah santernya kabar tentang mafia hukum.
Pertama, salah jurusan malah keterusan. Setamat sekolah menengah di Situbondo, Artidjo muda merantau ke Yogyakarta. Cita-citanya mendalami dunia pertanian. Apa lacur, penerimaan mahasiswa baru di Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada sudah ditutup. Untunglah beliau titip daftar lewat temannya di Fakultas Hukum UII. Pada mulanya beliau kuliah hukum seraya menunggu pendaftaran tahun berikutnya di UGM. Ternyata, beliau makin cinta pada dunia hukum.
Kedua, diintai maut dan diincar ninja. Pada 1992 beliau membela kasus besar di Dili. Kasus Pembantaian Santa Cruz. Selama enam bulan beliau menetap sementara di Dili. Selama itu pula nyawanya dalam ancaman maut. Dari intaian intel sepanjang hari hingga diancam akan dibunuh oleh seorang sopir taksi. Beliau tidak keder, apalagi takluk pada rasa takut. Pada satu malam di sebuah kamar hotel di Dili, seseorang berpakaian ninja ingin menghabisi nyawa beliau. Untung saja sang ninja salah kamar.
Ketiga, naik bajaj atau ojek ke kantor. Semasa belum mendapat fasilitas kendaraan dinas, beliau tidak mengeluh sedikit pun. Tiada mobil dinas tidak menyurutkan gairah beliau untuk bekerja dengan tulus. Ia naik bajaj atau ojek dari rumah kontrakan ke kantor Mahkamah Agung. Pulang kantor juga begitu. Kadang-kadang saja beliau naik taksi.
Keempat, mengontrak rumah dengan uang dari saku sendiri. Pindah dari Yogyakarta ke Jakarta karena terangkat menjadi Hakim Agung, suka tidak suka, memaksa beliau untuk mengontrak rumah. Gara-garanya, belum ada rumah dinas yang kosong. Bukan rahasia lagi, beberapa pejabat yang sudah pensiun enggan meninggalkan rumah dinas. Jadilah beliau mengontrak sebuah rumah kecil. Letaknya di perkampungan padat di Kramat Kwitang, Jakarta Pusat. Beliau tidak dongkol. Beliau rogoh saku sendiri untuk mengontrak rumah.
Kelima, membatasi tamu dan pertemanan. Sewaktu menjadi pengacara, beliau membangun jaringan pertemanan seluas-luasnya. Pendek kata, mencari kawan sebanyak-banyaknya. Setelah menjabat hakim agung, beliau membatasi diri dan menjaga jarak. Hanya wartawan atau mahasiswa yang beliau terima sebagai tamu. Begitu juga kiai dari Madura. Kalaupun di luar tiga kalangan itu, beliau terima di luar ruang kerja. Dengan begitu, staf hakim agung bisa mendengar dan menyimak pembicaraan.
Keenam, tidak menerima tamu yang ingin membincangkan perkara. Sebulan setelah diangkat menjadi hakim agung, selembar pengumuman terpajang di pintu ruang kerjanya. Tidak menerima tamu yang ingin membicarakan perkara. Beliau menempel kertas itu karena banyak tamu yang datang untuk atur damai atau kongkalikong dengan tawaran rupiah dan harta.