Timbul pertanyaan. Kenapa Giring hanya mengkritik kinerja Gubernur DKI Jakarta? Itu penting, sebab Giring adalah pemimpin sebuah partai dalam skala nasional. Andaikan yang mengkritik adalah pimpinan PSI Jakarta, ya, berbeda perkaranya.
Hal itulah mungkin yang melatari sanggahan Pasha Ungu. Vokalis yang pernah menjabat Wakil Wali Kota Palu itu secara gamblang menyatakan bahwa mengkritik mudah dilakukan, berbeda dengan menjadi pelaksana pembangunan.
Terkait kapabilitas Pak Gubernur @aniesbaswedan yang Bro anggap tidak mampu mengelola Jakarta, saya kira terlalu naif dan kerdil. Mengelola Jakarta tidak semudah mengkritik di medsos.
Selaku politikus berlatar artis, Pasha menyatakan bahwa kritik Giring terlalu naif dan kerdil. Jelas Pasha punya sandaran argumen. Kata Pasha, mengelola Jakarta tidak segampang bercuap-cuap di media sosial. Itu ada benarnya. Namun, ada kelirunya juga. Giring itu Nidji, Bro Pasha, bukan Naif. Upz!
Sayangnya, Pasha terang-terangan mempertanyakan latar belakang Giring. Di sini Pasha sedikit blunder. Belum fatal, tetapi mengerdilkan keberadaan kritik. Untuk mengkritik seorang pejabat, pengkritik tidak mesti punya pengalaman memimpin kelurahan, kecamatan, atau kota. Â
Apakah Bro Giring sudah pernah teruji mengelola sebuah kota/daerah atau bahkan kelurahan? Mohon maaf kalau saya keliru berpendapat, Bro Ketum.
Begitu tanggapan Pasha. Ia menyebut Giring kerdil dalam mengkritik Anies, tetapi ia sendiri entah sengaja atau tidak sedang mengerdilkan Giring. Ah, kenapa pula benak saya mendadak membayangkan mereka sepanggung dan bernyanyi bersama. Giring melompat sambil menggebuk kecrekan, Pasha unjuk rasa lewat roman memelas yang sedap dan elok pandang.Â
Izinkan aku, Tuhan. Ganti lagu, ah. Dan demi waktu ... [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H