Ketika negara limbung gara-gara pandemi korona, ketika uang negara digelontorkan demi nasib rakyat, ketika rakyat menjerit lantaran sulit menjaga dapur biar tetap menyala, segelintir elite justru sibuk bagi-bagi uang dari dana yang mestinya dinikmati oleh masyarakat. Alangkah parah!
Itulah kondisi di Indonesia. Dana Bantuan Sosial yang sejatinya untuk orang miskin malah singgah dan lesap di rekening pejabat dan politikus. Nilai-nilai kemanusiaan menguap entah ke mana. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi sila yang dikenal cukup dalam hafalan.
Jika terus begitu, etika kemanusiaan kita terus tergerus. Bisa-bisa kapal besar bernama Indonesia oleng dihajar gelombang korupsi. Demokrasi menurun, perekonomian lesu, kemiskinan memprihatinkan, eh, korupsi malah menjadi-jadi. Alangkah!
Ajaibnya, perbincangan tentang bancakan dana bansos pelan-pelan menguap. Kita sibuk dengan tradisi lopar-lapor, memperdebatkan radikal-radikul, dan debat kusir lainnya yang sejatinya tidak mendesak diperdebatkan. Banjir melanda, hujan dan gubernur diseret-seret.Â
Rakyat Indonesia tidak boleh murahan. Gampang benar digiring ke dalam bilik sempit isu yang dirancang kaum elite. Korupsi bukan topik sereceh perdebatan apakah bubur ayam mesti diaduk atau tidak. Mari terus kita gemakan kaum elite yang bermain "di belakang meja", yang memuaskan berahi menyunat uang negara.
Rakyat tidak boleh lupa. Rakyat harus tetap sadar. Drama "bancakan dana bansos" belum berakhir. Rakyat harus tetap mengingat bahwa bancakan dana bansos itu terjadi pada masa pandemi. Harus ingat bahwa terduga pelaku berasal dari lingkaran partai penguasa. Makin ironis lagi lantaran gema perkara bancakan dana bansos seolah-olah sirna begitu saja dari ingatan khalayak.
Jangan sampai kita lupa, ada kejadian mahadahsyat bernama bancakan bansos yang mulai luput dari ingatan. Musibah silih berganti menimpa, pemimpin kita malah sibuk dengan goncangan partai. Lalu, siapa kini yang akan mencuatkan malapetaka bancakan bansos?
Syahdan, sebagaimana tersiar pada banyak warta, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mencium keriuhan bancakan bansos. Hanya saja, gaungnya kurang nyaring. KPK mesti lebih gigih menyusuri indikasi aliran hasil rampokan. Garongnya harus disidik dengan teliti dan tidak boleh dibiarkan menari di atas penderitaan rakyat.
Jika memang hasil rampokan dana bansos mengalir ke saku perorangan atau rekening lembaga, KPK harus menyetel ulang nyali agar bisa mengusut dan menyidik ke mana bocoran dana bansos itu mengalir. Tidak perlu takut, tidak perlu ragu.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), tempat tersangka utama bancakan dana bansos selama ini berkhidmat, seyogianya wawas diri. Ada pengalaman sebagai cermin. Setelah dua periode memenangi pemilu, getir melanda Partai Demokrat. Slogan "katakan tidak pada korupsi" akhirnya menjadi bumerang. Suara partai anjlok begitu SBY meninggalkan Istana Negara.
Jika PDIP kurang gigih menjaga diri, sejarah lama bisa terulang kembali. Kemenangan beruntun pada dua pemilu terkini jangan sampai terlalu membuai, bikin tidur sangat nyenyak, lalu beberapa orang menggelar ritual melahap uang negara. Bisa-bisa PDIP senasib dengan Partai Demokrat pada pemilu mendatang.
Megawati dan kolega mesti bersih-bersih di partainya. Otak-otak kotor yang sarat berahi korup kiranya segera dicuci dan diinstal ulang. Upayakan "program etika kemanusiaan" terpasang lebih dulu agar pemegang jabatan lebih berempati kepada rakyat. Kalau tidak segera bersih-bersih, tagar PDIP Juara Korupsi bakal terus terpacak. Â
Jangan tunggu hingga rakyat marah semarah-marahnya. [kp]