Belum cukup sebulan berlalu, Agus Harimurti Yudhono sudah menarik tuduhannya soal keterkaitan Jokowi dengan rencana kudeta di kubu Partai Demokrat. Ia laksana "menjilat ludah sendiri" setelah menuding Jokowi mengetahui dan merestui rencana kudeta itu.
Setelah dengan wajah segarang singa mengumumkan adanya indikasi kudeta atas dirinya selaku Ketua Umum Partai Demokrat, AHY dengan wajah setebal badak menyampaikan bahwa Jokowi tidak tahu menahu tentang rencana kudeta di Partai Demokrat.
Ketika menyampaikan informasi dugaan Jokowi mengetahui dan mengizinkan rencana kudeta, AHY menggelar konferensi pers. Sangat berbeda saat ia menyatakan telah mendapat sinyal soal ketidaktahuan Jokowi atas rencana kudeta yang disampaikan, cukup dengan, lewat surat kepada seluruh jajarannya.
Ketika pada 1 Februari 2021 AHY mengatakan bahwa ada pihak dalam lingkar satu Jokowi yang merancang kudeta, ia memilih asas praduga tak bersalah sehingga tidak menyebut nama, kali ini berbeda. Masih dalam upaya "menemukan kambing hitam" dan "mencuci tangan", dikutip oleh Tempo.co, ia memakai dalih nama Jokowi dicatut untuk menakut-nakuti.
Dari situ terlihat ketidakmatangan AHY dalam memimpin sebuah partai besar yang pernah sukses mengantarkan SBY ke tampuk RI-01. Ketidakmatangan itu tampak pada dua hal berikut.Â
Pertama, politik lempar batu sembunyi tangan. AHY melempar batu dengan menyebut ada bukti Jokowi mengetahui dan mengizinkan kudeta itu, tetapi ia cuma meminta klarifikasi. Dengan kata lain, pembuktian ia lontarkan kepada Pak Presiden. Ternyata Jokowi cuek bebek, AHY pun kelimpungan.
Kedua, politik menabuh gendang menari sendiri. Setelah kecewa duania-akhirat lantaran surat permintaan klarifikasinya sama sekali tidak diindahkan oleh Jokowi, ia menyatakan bahwa pihak yang ingin menggulingkan dirinya hanya mencatut nama Jokowi, hanya akal-akalan belaka untuk menakut-nakuti kader partai bintang segitiga.
Dari dua ketidakmatangan berpolitik yang dipertunjukkan oleh AHY, terlihat ia masih grasa-grusu, sambalewa, dan kurang perhitungan. Ia seperti anak manja kesayangan bapak yang takut kehilangan boneka. Ia mencari perhatian Presiden agar mendapat panggung sehingga elektabilitasnya terangkat.Â
Pertama, mudah goyah. AHY mengira kadernya mudah diombang-ambingkan oleh bujuk rayu pihak luar. Pada sisi lain, bisikan soal ada pihak luar yang ingin menggoyang kursi ketum, sesungguhnya, adalah isyarat alangkah rapuh kepercayaan kader-kader partai terhadap sosok AHY.
Kedua, mudah takut. AHY menyebut kader-kader partainya sedang ditakut-takuti oleh seseorang di eksternal partai dengan tekanan "presiden merestui", lalu kadernya goyah, lalu muncullah riak bernama kudeta. Secara tidak langsung, AHY tidak percaya kepada kader-kader partainya. Ia bagai anak macan yang baru tahu berjalan, tetapi sudah ingin memimpin kawanan.
Namun, kemanjaan AHY sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan dirinya. Ada unsur dari luar dirinya yang berandil pada kelimpungan AHY di percaturan politik. Tengah asyik-asyik menjadi prajurit dengan karier menjanjikan, ia mundur dan terjun ke gelanggang politik. Kalah pula. Telak pula. Baru turun ke medan perang sudah dipaksa mengangkat bendera putih.
Rasa percaya diri yang terkikis akibat kekalahan di Pilgub DKI Jakarta belum pulih, ia sudah dapat warisan untuk menjadi Ketum Partai Demokrat. Kader lain berdarah-darah agar Partai Demokrat kembali tegak, AHY cukup dengan suara aklamasi sudah jadi Ketua Umum. Di dalam partai bisa saja karier AHY mulus, sebab ada beking di belakangnya yang siaga dengan sokongan penuh.
Itu pula sebabnya AHY memilih pantang mundur. Kadung basah, sekalian mandi. Kali ini istilah yang digunakan sungguh menterang. Bagai menabuh genderang perang saja. AHY meminjam cara pengistilahan militer: Gerakan Pengambilalihan Kepemimpinan Partai Demokrat alias GPK-PD. kurang garang apa coba!
Pertama, politik caper alias cari perhatian. Persis seperti dulu SBY menarik simpati rakyat: menempatkan diri sebagai orang yang dizalimi. SBY dizalimi Megawati, AHY dizalimi orang dalam Istana Negara.
Kedua, politik baper alias bawa-bawa perasaan. Jika SBY dengan kosakata "prihatin", AHY tegak dengan isitilah "pengambilalihan". Panggung politik dengan membawa-bawa perasaan seperti itu jelas amat rentan dari terpaan sakit hati. Bukan apa-apa. Semua tahu, termasuk yang awam politik, bahwa takada kawan yang abadi di dunia politik.
Dua taktik politik di atas, politik caper dan baper, murni khas SBY. Teoretis politik dunia, seperti Hobbes dan Locke, mesti sungkem kepada SBY atas temuan teori politik orisinal itu. Wajar jika AHY selaku anak biologis dan ideologis SBY menerapkannya tanpa prasyarat apa pun.
Dua strategi politik itu sudah berhasil mengantar SBY ke Istana Negara. Wajarlah jika AHY meniru dan menjiplaknya. Bahkan, seandainya Niccolo Machiavelli dan Jean-Jacques Rousseau main-main ke Cikeas, dua pakar teori politik itu mesti cium tangan kepada SBY atas kecanggihan politik caper dan politik baper. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H