Kata siapa Gerung mengasari Presiden Jokowi? Itu tidak benar. Pitnah, eh keliru. Fitnah. Apa pun yang terlontar dari sepasang bibir Gerung adalah tanda cinta tak tepermanai kepada Jokowi. Itu seperti meongan kucing berahi yang sudah kehilangan akal sakit. Tidak. Gerung tidak membenci Jokowi. Sebaliknya, maestro akal sehat itu sangat cinta. Buktinya, ia seperti sawah tadah hujan yang dikeringkan kemarau apabila tidak mengomentari kiprah, kata, dan tindakan Jokowi.
Cinta Gerung mana lagi yang mesti kita dustakan?
***
MELIHAT OCEHAN putra sulung dan barisan pendengung (boleh dibaca buzzer) Partai Demokrat tidak menghasilkan apa-apa selain serangan balik dari warganet, SBY yang sudah mendengkur keras di petilasan terpaksa turun gunung. Jokowi tidak bisa dibiarkan terus mengabaikan putra kesayangan dan partai kebanggaan. Beliau mesti turun tangan, campur tangan, dan cuci tangan.
Senjata yang beliau gunakan pun sudah diasah. Nama senjatanya, dalih “saya sepuluh tahun menjadi presiden”. Lalu mengalirlah rupa-rupa sentilan dan pelbagai sindiran yang dikemas sebagai saran. Beliau lupa, Jokowi bukanlah ahli militer yang paham seluk-beluk perang. Jokowi hanya seorang saudagar yang keahliannya bermain hitung-hitungan.
Sentilan pertama meluncur. Pelurunya obat dan gula. Kritik itu obat, sanjungan itu gula. Laksana pengamat diabetes tersohor, cuitan beliau disambar warganet. Beliau lupa, kata-kata adalah bom waktu yang bisa sewaktu-waktu diledakkan oleh netizen. Tidak lama berselang, ranjau yang ajek ke dalam tanah meledak karena diinjak sendiri.
Beliau memanen tuah. Yayasan Yudhoyono kontan dikritik netizen karena dianggap tidak punya empati kepada rakyat Pacitan. Tatkala kemiskinan meningkat di kabupaten kelahiran beliau, pihak Pemprov Jawa Timur akan mengguyurkan sembilan miliar rupiah untuk pembangunan museum. Badai kritik melanda Cikeas.
Nahas benar nasib beliau. Uang belum diterima, Yayasan Yudhoyono (silakan baca: Yudhoyono Foundation) sudah menuai kritik. Untunglah beliau sudah khatam dikritik. Sederas apa pun kritik menerpa, semua itu adalah obat di mata beliau.
***
ADALAH JOKOWI yang tetap begitu-begitu saja. Senyumnya masih natural, alamiah, seakan-akan tidak pernah mempelajari etika tersenyum bagi seorang presiden. Dari sananya sudah begitu, mau diapakan lagi. Kalaupun orang lain mangkel bin dongkol bin kesal, itu urusan mereka. Bagi Pakde Jokowi, hidup saat ini hanyalah bekerja, bekerja, bekerja.
Hanya bekerja? Tidak makan tidak minum? Tidak ibadah? Tentu saja makan dan minum. Tentu saja beribadah. Itu kiasan saja. Gerung pasti tahu arti bekerja. Pengamat politik bersenjatakan kosakata dungu itu niscaya tahu bahwa bekerja amat berbeda dengan berbicara. Jauh, jauh sekali, jauh sejauh-jauhnya.