Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Soal Hukum Mati Koruptor, PDI Perjuangan Pernah Menolak

17 Februari 2021   17:47 Diperbarui: 18 Februari 2021   08:04 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selasa, 16 Februari 2021, Profesor Edward Omar Sharif Hiarif menilai dua bekas menteri, yakni Edhi Prabowo (eks Menteri Kelautan dan Perikanan) dan Jualiari Batubara (eks Menteri Sosial), layak dituntut dengan ancaman hukuman mati.

Pernyataan Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) itu kontan mendapat tepuk tangan riuh dan acungan jempol dari warganet. Hampir semua portal berita yang menayangkan kabar tersebut menuai banyak komentar. Bahkan sempat menduduki topik tren teratas alias viral di media sosial.

Profesor Eddy menyampaikan penilaiannya dalam acara seminar nasional bertajuk "Telaah Kritis terhadap Arah Pembetukan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi". Seminar tersebut digelar secara virtual lewat akun Youtube Kanal Pengetahuan Fakultas Hukum UGM (lihat: tribunnews.com).

Wamenkumham Eddy tidak sedang membanyol atau menawarkan harapan palsu kepada warga. Ancaman hukuman mati memang termaktub di dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Koruptor dengan kriteria seperti apa yang dapat dituntut dengan pidana penjara selama 20 (dua puluh) tahun dan/atau pidana penjara seumur hidup? Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor mengurai kriterianya.

"Setiap orang yang secara sengaja melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)."

Itu ketentuan pidana 20 (dua puluh) tahun penjara dan pidana penjara seumur hidup. Bagaimana dengan pidana hukuman mati? Ketentuannya tercantum pada Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan."

Amar "dilakukan dalam keadaan tertentu" jelas menjadi syarat untuk penuntutan hukuman mati. Keadaan tertentu apa saja yang dapat membuat pelaku korupsi dituntut dengan ancaman hukuman mati? Silakan sisir penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor.

"Yang dimaksud dengan 'keadaan tertentu' dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan penanggulangan tindak pidana korupsi."

Itulah alasan Profesor Eddy menilai dua bekas menteri yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi dapat dituntut dengan ancaman hukuman mati. Masyarakat tengah terguncang akibat pandemi, pemerintah sedang sibuk mencari jalan untuk mengatasi pandemi, mereka malah asyik-asyik saja mengerat uang rakyat.

Sungguh perbuatan yang menyakitkan, sangat menyakitkan, teramat sangat menyakitkan.

Jauh sebelum Wamenkumham Eddy menyaringkan kembali hukuman mati bagi para koruptor dengan kondisi tertentu, sebenarnya wacana itu sudah kerap didengungkan sejak 2019 lalu. Tidak tanggung-tanggung, Presiden Jokowi sendiri pernah mengungkitnya saat menghadiri Peringatan Hari Antikorupsi se-Dunia di SMK 57 Jakarta pada 9 Desember 2019 lalu (lihat: cnnindonesia.com).

Meski begitu, wacana penuntutan dengan ancaman hukuman mati bagi koruptor tidak pernah terjadi. Alih-alih hukuman berat semisal penjara seumur hidup, dada rakyat Indonesia terkadang sesak melihat kenyataan koruptor mendapat hukuman dengan pidana penjara yang ringan.

Eks Ketua Umum PPP Romahurmuziy, misalnya, terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Vonis yang ia terima malah lebih ringan dibanding ketentuan terendah dalam UU Tipikor. Romy, sapaan Romahurmuziy, hanya divonis dua tahun penjara dan denda Rp100.000.000,00 subsider tiga bulan kurungan (lihat: Kompas.com).

Ahmadi, eks (kalau pakai mantan berasa sopan sekali, jadi saya gunakan eks atau bekas) Bupati Bener Meriah, Aceh, hanya divonis 3 (tiga) tahun penjara dan denda Rp100.000.000,00 subsider 3 (tiga) bulan kurungan setelah terbukti menyuap eks Gubernur Aceh Irwandi Yusuf (lihat: detik.com).

Jika saya uraikan semua, daftarnya sangat panjang. Ada kasus Idrus Marham bekas Mensos, Irman Gusman bekas Ketua DPD, serta Patrialis Akbar bekas Menteri Hukum dan HAM. Tiga bekas petinggi negara itu mendapat keringanan hukuman setelah mengajukan banding dan kasasi.

Cukuplah contoh-contoh di atas sebagai bukti bahwa selama ini, di Republik Indonesia tercinta ini, pemberantasan korupsi masih setengah hati. Itu sebabnya banyak pihak yang pesimistis tatkala Jokowi mewacanakan kembali ancaman hukuman mati bagi koruptor. Hasilnya masih sama setelah UU Nomor 31 Tahun 1999 direvisi lewat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. 

Maka dari itu, rakyat jangan kaget jikalau gema tuntutan hukuman mati yang digaungkan kembali oleh Profesor Eddy tidak mendapat aplaus meriah dari kalangan politikus. Bukan sekarang saja wacana tuntutan hukuman mati ditolak oleh petinggi partai. Dari tahun-tahun kemarin sudah begitu.

Elite PDI Perjuangan misalnya, selaku partai pengusung utama Presiden Jokowi, menanggapi tawaran Jokowi dengan menolak tuntutan hukuman mati bagi koruptor. Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan semua pihak tidak boleh menjadi penentu kehidupan seseorang (lihat: cnnindonesia.com).

Cukuplah satu penolakan itu yang saya agihkan dalam ujung artikel ini. Makin banyak yang saya sajikan makin sesak dada rakyat, makin sakit dada rakyat, makin nelangsa hati rakyat.

Meski begitu, seperti penilaian Profesor Eddy, kasus korupsi yang menjerat bekas Mensos dan Men-KP semoga dituntut hukuman mati. Soal hakim memvonis berbeda, tidak apalah, yang penting tuntutan jaksa dulu.

Jangan ingat, manakala rakyat dan Pemerintah menjerit, eh, mereka main sunat uang rakyat. [kp]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun