Jikalau belum puas, Denny bisa jalan-jalan ke Monumen Nasional, mendongak dan melihat puncak ikon kebanggaan Indonesia itu, dan menatap emas yang berkilau di sana. Saya percaya, Denny tahu bahwa kobar api yang menghiasi puncak Monas bersepuh emas.
Ada 50 kg emas pada sepuhan kobaran nyala obor itu. Perlu Denny ingat, 28 kilogram di antara emas itu adalah sumbangan seorang pengusaha dari Aceh. Teuku Markam namanya. Beliau adalah sahabat dekat Presiden Sukarno.
Bagaimana bisa Teuku Markam menyumbangkan emasnya untuk pembangunan Monas?
Tentu saja kedekatan dengan Sukarno dapat diagihkan sebagai alasan sederhana. Namun, ada alasan lain yang bisa saja diajukan. Misalnya, kecintaan Teuku Markam kepada Indonesia. Pengusaha asal Aceh Utara itu bahkan terlibat dalam beberapa proyek infrastruktur di Aceh dan Jawa. Denny tidak usah bingung, sebab kisah saudagar yang menjadi tahanan politik tanpa pengadilan pada era Orde Baru itu masih tayang di Kompas.com.
Kalaupun sekarang kondisi ekonomi Aceh sedang menurun sehingga rakyat miskin bertambah, penganggur makin banyak, dan keadaan memprihatinkan lainnya, tentulah ada pangkal musababnya. Gara-gara pandemi korona, misalnya. Kelesuan ekonomi tidak hanya terjadi di Aceh. Provinsi lain di Indonesia mengalami hal serupa.
Jadi, cuitan Denny menjadi tidak relevan. Bahkan, terkesan mencibir. Penggunaan kata "alhamdulillah" lebih condong pada olok-olok daripada prihatin dengan kondisi yang tengah menimpa rakyat Aceh. Penggunaan kalimat "akhirnya ada juga prestasinya" malah dapat dimaknai sebagai ledekan. Denny semacam ingin mengatakan "syukurin provinsi termiskin".
Sebagai sosok dengan makmum bejibun di Twitter, tidak layak Denny mencicit sedemikian. Ada dampak lain yang tanpa disadari oleh Denny bisa terjadi. Dari komentar jemaah twitteriyah pengikut Denny, ledekan yang tertuju pada Aceh menjadi-jadi. Dapat dibayangkan ketika sosok yang kerap menyuarakan toleransi justru, entah sengaja entah tidak, menganjurkan intoleransi. Sangat kontraproduktif. Bahkan bisa memicu sentimen negatif kolektif.
Dengan demikian, sebagai penganjur dan penganut paham "NKRI Harga Mati", sangat disayangkan tatkala Denny justru menyatakan sesuatu yang beraroma tidak Pancasilais. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H