JIKA SUATU HARI NANTI ada kesempatan, saya ingin sekali pelesiran ke Pacitan. Saya memang sudah lama "mengidam" ke sana. Ada dua destinasi yang sangat ingin saya datangi. Pertama, Gua Gong yang disebut-sebut sebagai gua terindah di Asia Tenggara. Kedua, Tabuhan--batu yang dapat ditabuh dan berbunyi seperti gamelan.
Sekali waktu saya lama berada di Magetan dan Ponorogo, kabupaten tetangga Pacitan, mencari bahan novel Sepatu Dahlan, tetapi belum sempat menyeberang ke Gua Gong dan Tabuhan. Tadi malam hasrat ke Pacitan kembali mencuat. Hal itu dipicu oleh dua destinasi wisata baru, yakni Museum dan Galeri Seni SBY*ANI serta Bendungan Tukul.
Semua yang bernama museum tentu menyimpan banyak kenangan, apalagi ditambah galeri seni. Itu alasan mengapa saya ingin menyambanginya. Dari namanya sudah jelas bahwa museum itu menjadi tempat untuk merawat kenangan, sumbangsih, dan segala hal yang berhubungan dengan SBY dan Ani Yudhoyono.
Sementara itu, bendungan Tukul baru kemarin (Selasa, 14/2/2021) diresmikan oleh Presiden Jokowi. Syahdan, bendungan tersebut menelan biaya sekisar Rp916 miliar. Syahdan pula, bendungan tersebut dapat mengairi sawah seluas 600 hektare. Bukan hanya itu, bendungan bernama serupa dengan nama depan pelawak kondang itu, Tukul Arwana, juga berfungsi mengendalikan banjir, pembangkit tenaga listrik, tempat wisata, dan penyediaan air bersih.
Entah kapan harapan saya menjadi kenyataan, biarlah waktu dan Tuhan yang tahu.
***
BEBERAPA PEKAN BELAKANGAN, jagat virtual diriuhkan oleh gonjang-ganjing kudeta yang cukup heboh. Drama kudeta Partai Demokrat sempat menyedot perhatian banyak warganet. Hal itu terjadi karena dugaan kudeta di tubuh Demokrat langsung dimaklumatkan oleh Ketum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono.
AHY, demikian sapaan singkat Agus Harimurti Yudhoyono, adalah putra sulung Susilo Bambang Yudhoyono. Adapun SBY, inisial Presiden ke-6 RI, sangat erat pertalian emosionalnya dengan Kabupaten Pacitan. Beliau lahir di sana. Itu pula sebab mengapa Museum dan Galeri Seni SBY*ANI didirikan di kabupaten yang tenar dengan sebutan Kota Seribu Gua.
Drama kudeta Demokrat, seperti uraian di atas, dihubung-hubungkan dengan Presiden Jokowi. Syahdan, menurut petinggi Partai Demokrat, Pak Jokowi mengetahui dan merestui dalang di balik gosip kudeta. AHY kemudian bersurat kepada Presiden Jokowi untuk mengonfirmasi dugaan tersebut.
Sayang sekali, Pak Jokowi mengabaikan “surat cinta” AHY. Jawaban beliau disampaikan seperti angin lalu saja. Itu pun lewat Pratikno, Menteri Sekretaris Negara, tanpa konferensi pers yang setara dengan pengumuman AHY. Sontak elite Demokrat bak kebakaran kumis. Rupa-rupa isu baru ditiup-tiupkan agar gosip drama kudeta bertahan lama.
Dua hari lalu, Sabtu (13/2/2021) SBY berkicau di Twitter. Beliau bertutur tentang obat pahit dan gula manis. Beliau menganalogikan obat pahit sebagai kritik dan gula manis sebagai puji-pujian. Beliau melengkapi cuitan dengan argumen bahwa obat sepahit apa pun akan membuat orang sehat, sedangkan gula semanis apa pun jikalau berlebihan bisa mengundang penyakit.
Cicitan tersebut dapat saja dihubungkan dengan maklumat Jokowi yang dengan tegas meminta kritik keras dari masyarakat. Dengan kata lain, SBY seperti menyentil Jokowi. Itu bisa ditilik dari cuitan lain tentang gula. Pujian dan sanjungan laksana gula, menurut SBY, jikalau berlebihan hanya menyenangkan hati sekaligus bisa menyebabkan kegagalan.
Seperti biasa, Jokowi kalem saja. Sikapnya bagai tidak mengindahkan keluh-kesah AHY dan “tegur sapa” SBY. AHY lewat surat cinta dan SBY lewat cuitan di Twitter. Meski begitu, Jokowi seperti pendekar digdaya: diam-diam menyiapkan jurus balasan. Sehari setelah cicitan SBY mengudara, beliau mengumumkan di Twitter akan mendatangi Pacitan, tanah kelahiran SBY.
Bukan rahasia lagi, Pacitan adalah “daerah kekuasaan” Partai Demokrat. Partai berlogo bintang tiga itu dalam dua pemilu terakhir, 2014 dan 2019, selalu mendapat 14 kursi di DPRD Pacitan. PDI Perjuangan, yang tenar dengan “kuku tajam” di Jawa Timur, hanya meraih 6 kursi dalam periode yang sama.
Jadilah kunjungan ke Pacitan tampak seperti serangan balasan Jokowi.
***
MENGAPA JOKOWI mendatangi “kandang” Partai Demokrat? Tentu saja untuk menunaikan tugas selaku presiden. Bagaimanapun, beliau memikul amanat untuk memimpin dan mengayomi seluruh rakyat Indonesia, termasuk warga Pacitan. Sebut saja, lawatan resmi selaku kepala negara.
Namun, dapat pula lawatan tersebut dimaknai sebagai jurus “tendangan tanpa bayangan”. Jokowi seperti pendekar kalem, diam-diam melancarkan jurus mematikan. Adapun SBY bagaikan pendekar kalem, terpaksa diam-diam makan di dalam. Jokowi seakan-akan ingin pamer taji. Saya baru enam tahun jadi Presiden, rakyat Pacitan dapat bendungan Tukul.
Dengan begitu, kubu Demokrat bisa seroyongan atau terhuyung-huyung karena serangan lawan yang dadakan. Bayangkan bagaimana rasanya jikalau ada satu orang saja, tidak usah banyak, warga Pacitan yang membanding-bandingkan SBY dengan Jokowi. SBY sepuluh tahun menjabat presiden menghadiahkan museum, Jokowi baru enam tahun sudah kasih bendungan.
Kasak-kusuk yang bermula dari satu orang itu lantas berpindah dari mulut ke mulut, melebar menjadi guyon massal, hingga menyerempet hal-hal yang sangat sensitif. Misalnya begini. SBY kasih kita museum untuk menampilkan kiprah diri sendiri dan keluarga; Jokowi meresmikan bendungan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Pacitan.
Aduh, bisa luntur citra SBY. Di tanah kelahiran pula. Maka dari itu, elite Partai Demokrat harus lekas-lekas mencari dan menyiapkan jurus baru untuk menangkis “tendangan tanpa bayangan”. Harus jurus yang setanding dan sebanding, bukan jurus “baper” atau “gosip” seperti desas-desus Jokowi menjitak Moeldoko.
Selain itu, elite Demokrat mesti banyak-banyak bersyukur. Untung saja bendungan di Pacitan itu dinamai Bendungan Tukul. Bayangkan alangkah heboh rimba politik jika dinamai: Bendungan Prihatin. [kp]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H