Cicitan tersebut dapat saja dihubungkan dengan maklumat Jokowi yang dengan tegas meminta kritik keras dari masyarakat. Dengan kata lain, SBY seperti menyentil Jokowi. Itu bisa ditilik dari cuitan lain tentang gula. Pujian dan sanjungan laksana gula, menurut SBY, jikalau berlebihan hanya menyenangkan hati sekaligus bisa menyebabkan kegagalan.
Seperti biasa, Jokowi kalem saja. Sikapnya bagai tidak mengindahkan keluh-kesah AHY dan “tegur sapa” SBY. AHY lewat surat cinta dan SBY lewat cuitan di Twitter. Meski begitu, Jokowi seperti pendekar digdaya: diam-diam menyiapkan jurus balasan. Sehari setelah cicitan SBY mengudara, beliau mengumumkan di Twitter akan mendatangi Pacitan, tanah kelahiran SBY.
Bukan rahasia lagi, Pacitan adalah “daerah kekuasaan” Partai Demokrat. Partai berlogo bintang tiga itu dalam dua pemilu terakhir, 2014 dan 2019, selalu mendapat 14 kursi di DPRD Pacitan. PDI Perjuangan, yang tenar dengan “kuku tajam” di Jawa Timur, hanya meraih 6 kursi dalam periode yang sama.
Jadilah kunjungan ke Pacitan tampak seperti serangan balasan Jokowi.
***
MENGAPA JOKOWI mendatangi “kandang” Partai Demokrat? Tentu saja untuk menunaikan tugas selaku presiden. Bagaimanapun, beliau memikul amanat untuk memimpin dan mengayomi seluruh rakyat Indonesia, termasuk warga Pacitan. Sebut saja, lawatan resmi selaku kepala negara.
Namun, dapat pula lawatan tersebut dimaknai sebagai jurus “tendangan tanpa bayangan”. Jokowi seperti pendekar kalem, diam-diam melancarkan jurus mematikan. Adapun SBY bagaikan pendekar kalem, terpaksa diam-diam makan di dalam. Jokowi seakan-akan ingin pamer taji. Saya baru enam tahun jadi Presiden, rakyat Pacitan dapat bendungan Tukul.
Dengan begitu, kubu Demokrat bisa seroyongan atau terhuyung-huyung karena serangan lawan yang dadakan. Bayangkan bagaimana rasanya jikalau ada satu orang saja, tidak usah banyak, warga Pacitan yang membanding-bandingkan SBY dengan Jokowi. SBY sepuluh tahun menjabat presiden menghadiahkan museum, Jokowi baru enam tahun sudah kasih bendungan.
Kasak-kusuk yang bermula dari satu orang itu lantas berpindah dari mulut ke mulut, melebar menjadi guyon massal, hingga menyerempet hal-hal yang sangat sensitif. Misalnya begini. SBY kasih kita museum untuk menampilkan kiprah diri sendiri dan keluarga; Jokowi meresmikan bendungan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Pacitan.
Aduh, bisa luntur citra SBY. Di tanah kelahiran pula. Maka dari itu, elite Partai Demokrat harus lekas-lekas mencari dan menyiapkan jurus baru untuk menangkis “tendangan tanpa bayangan”. Harus jurus yang setanding dan sebanding, bukan jurus “baper” atau “gosip” seperti desas-desus Jokowi menjitak Moeldoko.
Selain itu, elite Demokrat mesti banyak-banyak bersyukur. Untung saja bendungan di Pacitan itu dinamai Bendungan Tukul. Bayangkan alangkah heboh rimba politik jika dinamai: Bendungan Prihatin. [kp]