Pertanyaan itu mendentur-dentur kepalaku. Kamu tahu? Hatiku sontak digelitik rasa penasaran. Tanda tanya berdiri di depanku, persis seperti bocah cilik yang dirajam rasa penasaran gara-gara dilarang memanjat pohon jambu.
Bisakah kita bahagia dengan membiakkan kebencian?
Sebelum mengulik jawaban atas pertanyaan tersebut, izinkan aku mengajakmu untuk mengudar arti kebencian. Kata itu bermuara pada dua makna, yakni (1) perasaan benci atau sifat-sifat benci, dan (2) sesuatu yang dibenci. Yang pertama bergerak di dalam diri, yang kedua berhamburan ke luar diri.
Apa pula perasaan benci itu? Itu kata sifat, artinya sangat tidak suka. Jika kamu kecewa karena ditinggal pergi oleh orang tercinta tanpa pesan dan alasan, itulah benci. Jika kamu sewot karena orang lain menyakiti hatimu tanpa sebab dan dalih, itulah benci.
Sebagaimana kemarahan, kebencian juga bagian perasaan yang inheren atau melekat dalam diri kita, di sanubari kita, di dasar kalbu kita. Artinya, kita membutuhkan perasaan benci agar mampu bertahan hidup.Â
Tanpa kebencian, kita kekurangan bensin untuk mengejar atau memperbaiki sesuatu. Dengan kuasa benci, kita bisa mempercepat yang lambat atau memperlekas yang lamban.Â
Nah, itu berarti kita membutuhkan rasa benci. Itu juga berarti kita tidak mungkin hidup tanpa rasa benci. Sebagaimana pentingnya cinta bagi kita, hidup akan hambar tanpa rasa benci.
Lo, jangan membelalak begitu. Sabar, dong. Iya, saya tahu bahwa kalau terlalu membenci maka energi negatif akan membanjiri hati. Namun, bukan hanya benci. Semua yang terlalu berpotensi mengairi dan mengaliri hati dengan energi positif.Â
Terlalu cinta, misalnya. Terlalu sayang, misalnya lagi. Tidak percaya? Tanya Bang Rhoma!
Bisa. Lihat saja para pendengung (buzzer) di media sosial. Mereka bersenang-senang dengan menebar dan menabur kebencian. Mereka terus-menerus melakukannya seakan-akan itulah penghiburan terbaik yang bisa menenangkan dan menyenangkan hati mereka.