Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Imlek 2021: Menyibak Geliat Pejuang Literasi Tionghoa Makassar

12 Februari 2021   12:31 Diperbarui: 12 Februari 2021   18:52 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gerbang Pecinan, simbol akulturasi budaya antaretnis di Kota Makassar (Foto: makassarguide.com)

MAKASSAR adalah pintu gerbang Indonesia bagian timur. Tidak heran jika kota berjuluk "Anging Mammiri" itu memikat banyak pendatang. Poelligomang (2002) menyatakan bahwa Makassar merupakan kota pelabuhan utama yang sudah cukup dikenal pada abad ke-19.

Sementara itu, Forbes (1996) menyebut Makassar sebagai pusat perdagangan. Rotan dari Kalimantan; kayu manis, dan sarang lebah dari Flores dan Timor; tripang dari teluk Carpentaria (Australia); minyak kayu putih dari Buru; serta bunga pala liar dan kulit kayu mussoi dari New Guinea dapat diperoleh di toko Cina dan Bugis di Makassar.

Pada masa kolonial, wilayah di luar Jawa sering diposisikan sebagai daerah pinggiran (periphery). Sejak permulaan abad ke-20, Makassar sebagai daerah periferi menjadi kota alternatif selain Manado, dengan simbol-simbol kebaruan seperti pendidikan modern dan pusat organisasi pergerakan. Itulah sisi lain yang menjadi daya pikat Makassar.

Tidak bisa dimungkiri, etnis Tionghoa telah hidup berabad-abad lamanya di Makassar dan sudah menjadi bagian dari warga kota Makassar. Pada mulanya, orang-orang Tionghoa datang ke Makassar sekisar abad ke-15 pada Dinasti Tang. Mereka datang secara bertahap dari Hokkian, di daratan Tionghoa, pada masa pemerintahan kerajaan Gowa.

Namun, dalam kepercayaan turun-temurun masyarakat Bugis-Makassar, keberadaan Tionghoa sudah jauh sebelum itu. Tersebutlah dalam Surek I La Galigo, karya sastra terpanjang di dunia yang diakui oleh Unesco sebagai warisan dunia, Sawerigading berlayar hingga ke daratan Tiongkok untuk menemui calon istrinya--We Cu Dai.

Bagaimana dengan keberadaan keturunan Tionghoa dalam dunia literasi di Makassar? Artikel ini saya suguhkan untuk menyajikan fakta tentang keberadaan beberapa orang pejuang literasi, di Makassar, yang merupakan keturunan atau peranakan Tionghoa.

Keberadaan mereka tidak bisa dipandang sebelah mata, sebab mereka berperan penting dalam membangun budaya literasi pada masa kolonial.

***

MARI kita mulai menyigi sosok penting dalam dunia literasi di Makassar.

Huang Sung Tjie. Beliau seorang wartawan dengan haluan politik yang tegas. Ia sering menulis artikel yang menentang kaum elite Tionghoa di Makassar. Sikap politiknya jelas. Ia memilih lebih baik bergabung dengan Bugis-Makassar untuk berjuang melawan penjajah daripada berkumpul dengan elite Tionghoa yang sibuk dengan golongannya sendiri.

Bukan hanya dalam tataran pendapat, Huang terang-terangan menentang perkumpulan Chung Hwa Hui yang ia nggap hanya berpihak pada kepada orang kaya--kala itu disebut golongan atas. Setelah mengenyam pendidikan di Holland Chinesse School, ia sempat bekerja di Molukken Veem, sebuah firma besar milik Belanda di Makassar. Di sana ia mulai mengamati masyarakat warga kota Makassar dari dekat.

Karier Huang di dunia jurnalistik bermula ketika ia menjadi koresponden untuk koran terbitan Batavia, Sing Po dan Perniagaan, pada tahun 1922. Sejak itu kariernya melesat. Pada 1925, ia sudah menjadi staf redaksi Chau Sing. Setahun kemudian, 1926, Huang sudah menjadi redaktur Suara Siauw Lian. Tiga tahun kemudian, 1929, ia sudah menjabat pemimpin redaksi Pemberitaan Makassar. 

Pada masa ketika orang pribumi, terutama Bugis-Makassar, memandang peranakan Tionghoa sebagai kaum dari golongan atas dan belum menerima mereka sebagai bagian dari perlawanan terhadap Belanda, Huang adalah pengecualian. Kiprahnya diakui, sepak terjangnya diterima kaum pribumi. Pemikiran Huang memang jauh melampaui masanya.

Liem Kheng Yong. Beliau adalah sastrawan dan penerjemah dengan citarasa Makassar. Darah pribumi mengalir di tubuhnya. Ayahnya, Liem Eng Djioe, seorang perantau dari Fujian, sedangkan ibunya berasal dari suku Mandar (Wirawan, 2013:313).

Liem memahami alangkah rindunya orang-orang Tionghoa perantauan atas roman dan sejarah tanah leluhur mereka. Di sisi lain, Liem juga menyadari betapa pentingnya orang-orang Bugis-Makassar mengetahui roman dan sejarah Tionghoa. Dari sana bermula hasratnya untuk menjadi penerjemah.

Sastrawan kelahiran Makassar itu kemudian bertungkus lumus di dunia penerjemahan. Puluhan roman dari Tionghoa ia terjemahkan ke dalam bahasa Makassar dengan menggunakan aksara lontarak--huruf asli suku Makassar dan Bugis.

Salah satu roman sejarah fenomenal yang diterjemahkan oleh Liem adalah Sam Po Kong--kisah perjalanan Laksamana Zheng He. Selain itu, ia juga menerjemahkan Sung Go Kong--kisah kera sakti dalam Xiyou ji. Tidak hanya itu, ia juga menulis puisi dengan menggunakan aksara lontarak.

Ang Bang Tjiong. Beliau adalah budayawan, sastrawan, dan wartawan yang kerap disebut sangat menguasai sastra lisan Makassar. Salah satu mahakarya Ang yang masih bisa dinikmati hingga sekarang adalah Pantun Melajoe-Makassar. Ia menulis kumpulan puisi itu dalam bahasa Melayu dan Makassar.

Ang tidak asal menggunakan bahasa Makassar. Ia punya alasan kuat yang patut dikenang. Kata Ang, "Saya sengaja melakukannya untuk mengangkat nilai bahasa Makassar." Syair-syair gubahan Ang rata-rata berbicara tentang cinta, kehidupan yang sulit, dan penghiburan bagi rakyat jelata.

Kecintaan Ang pada kesenian, terutama sastra Makassar, tidak perlu dipertanyakan lagi. Puisi-puisinya sudah menunjukkan betapa ia keturunan Tionghoa dengan darah budaya Makassar yang sangat kental. Semasa bekerja di majalah Favoriet, ia banyak menulis esai soal spiritual dan masalah sosial.

Bukan hanya terampil menulis syair dan esai, Ang terkenal sebagai pencipta lirik stambul dan keroncong. Sebagai seorang seniman musik, Ang tersohor karena kepiawaiannya memetik dawai kecapi Makassar, jago bermain gitas, mahir memainkan piano, dan lincah memainkan mandolin.

Hoo Eng Djie. Beliau adalah sastrawan, musisi, dan pemerhati sastra Makassar. Karya-karyanya masih abadi hingga hari ini, bahkan karyanya lebih dikenal daripada namanya. Tidak heran jika saya sering menyebut idola saya ini dengan Tuan NN.

Tuan Hoo tidak hanya mahir menggubah syair dalam bahasa Makassar, tetapi sebenarnya beliau juga menguasai esensi sastra Makassar. Dalam lagu Ati Raja, misalnya, ia bertutur tentang hidup di tiga alam sebagaimana keyakinan kuno masyarakat Bugis-Makassar. Kehidupan tiga alam itu ia simbolkan lewat tallung lawarak lekokna (tiga lembar sirih).

Beliau juga memahami sedalam-dalamnya spiritualitas Bugis-Makassar. Hal itu tergambar dalam lagu-lagu gubahannya. Ammak Ciang, Ati Raja, Sai Long, atau Makrencong-rencong. Sekilas ia terlihat hanya berkisah tentang gadis yang patah hati, padahal sejatinya ia bertutur tentang dunia yang sementara dan akhirat yang abadi.

Saya pernah menanggit esai yang khusus saya persembahkan buat Tuan Hoo, begitu saya sebut nama beliau. Menulis (Sepenuh) Cinta ala Tuan Hoo Eng Djie. Silakan klik dan mampir jika sempat.

***

ETNIS TIONGHOA sejak awal diterima dengan tangan terbuka di Makassar. Amanna Gappa, salah seorang petinggi di salah satu kerajaan Bugis, menikah dengan seorang putri Tionghoa. Hal itu menunjukkan jalinan hubungan antara orang Bugis-Makassar dengan orang Tionghoa beberapa abad lampau sudah sangat kuat.

Memang pernah terjadi benturan antaretnis yang melibatkan Bugis-Makassar dan Tionghoa, tetapi benturan antaretnis terjadi di mana-mana di belahan dunia. Semua bermula dari stereotipe individual. Merujuk pendapat Purwasito (2003, 224--231), kebiasaan individu akan membentuk pemikiran khusus mengenai kultur tertentu.

Itu betul. Gegar budaya sangat potensial terjadi. Itulah pentingnya memahami latar belakang budaya, seperti pola berpikir tiap individu, stereotipe, etnosentrisme, tradisi, nilai, norma, dan sistem religi. Perbedaan itu niscaya dan harus diterima.

Fakta menunjukkan bahwa manusia memang makhluk unik dan khas. Keunikan dan kekhasan ini, dalam konteks bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat, dapat menimbulkan keragaman tatanan sosial dan kebudayaan. Indonesia adalah negara-bangsa yang terdiri atas beragam etnis, agama, dan bahasa. Jadi, gegar budaya bukanlah sesuatu yang aneh.

Selain itu, keragaman kultur tidak berarti menghalangi atau menyekat nilai-nilai kemanusiaan. Empat tokoh Tionghoa yang saya ajukan di atas adalah contoh konkret dari asimilasi budaya. Mereka hanya segelintir dari sekian banyak sosok keturunan Tionghoa yang menyatu dengan masyarakat lokal di Makassar dan sekitarnya.

Bagaimana dengan kondisi hari ini? 

Sama saja. Masih terjalin hubungan emosional yang kuat. Rudy Gunawan adalah salah satu sosok keturunan Tionghoa yang sangat peduli pada kemajuan literasi di Indonesia, khususnya di Makassar dan sekitarnya. Maka, seperti petuah Tuan Hoo, mari kita rayakan keberagaman ini!

Selamat Tahun Baru Imlek 2021. Gong xi fat chai. Xin xiang shi cheng.

Salam takzim, Khrisna Pabichara

Rujukan:

  1. Forbes, Dean. 1996. Penjaja di Ujung Pandang dalam Chris Manning dan Tadjuddin Noer Effendi: Urbanisasi, Pengangguran, dan Sektor Informal di Kota. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  2. Gudykunst, W. B., & Kim, Y. Y. 1992. Readings on Communicating with Strangers. New York: McGraw-Hill.
  3. Pabichara, Khrisna. 2012. Gadis Pakarena. Jakarta: Penerbit Dolphin.
  4. Pabichara, Khrisna. 2016. Menulis (Sepenuh) Cinta ala Tuan Hoo Eng Djie. Kompasiana.com.
  5. Poelinggomang, Edward L. 2002. Makassar Abad XIX: Studi Tentang Kebijakan Perdagangan Maritim. Jakarta: KPG.
  6. Purwasito, A. 2003. Komunikasi Multikultur. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
  7. Samovar, L. A. & Porter, R. E. 1985. Approaching Intercultural Communication dalam L. A. Samovar and R. Porter (Eds.): Intercultural Communication: A Reader (4th ed.). Belmont, CA: Wadsworth.
  8. Wirawan, Yerry. 2013. Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar: dari Abad ke-17 hingga ke-20. Jakarta: KPG.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun