Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Nora, Detikcom, dan Berita dari Ranah Privat

11 Februari 2021   18:45 Diperbarui: 11 Februari 2021   20:22 1023
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SETELAH mengumbar ranah privat warga, setelah kehidupan seks seseorang diberitakan, setelah berita disebar tanpa klarifikasi dan verifikasi kepada pihak yang diberitakan, akhirnya pemimpin redaksi detikcom meminta maaf. Sebagai portal berita yang cukup masyhur, detikcom mendapat pelajaran berharga.

Kejadiannya seperti ini. Mula-mula Nora Alexandra, istri Jerinx, mengunggah interaksinya dengan pengikut di Instagram Stories. Unggahan itu terbidik oleh jurnalis detikcom. Kemudian, unggahan itu diracik dan diangkat menjadi konten berita. Judulnya nyentrik: Kehidupan Seks Nora Alexandra dipertanyakan Usai Jerinx Dipenjara.

Setelah berita tayang di detikcom, terjadilah interaksi antara pewarta dengan Nora lewat pesan langsung Instagram. Nora, selaku subjek berita, merasa tidak nyaman karena kehidupan pribadi yang sangat privat diangkat menjadi berita. Alih-alih menyadari kesalahan dan meminta maaf, jurnalis malah mempertanyakan apa kesalahannya.

Nora makin taknyaman. Ia dengan rendah hati meminta maaf apabila dianggap salah karena mempertanyakan kenapa kehidupan seksnya diberitakan. Warganet sontak gempar. Rata-rata merasa aneh atas sikap wartawan dalam menanggapi keluhan Nora. Selain itu, netizen juga mempersoalkan ketakjelian redaktur detikcom.

Tidak lama kemudian, redaktur detikcom mengajukan permintaan maaf kepada Nora. Redaktur juga menyatakan akan menghargai batas dan hak pribadi Nora dengan menghapus berita itu. Selanjutnya, redaktur berjanji akan menghargai ranah privat yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik.

Alangkah!

***

SINGKATNYA BEGINI: (1) intip bahan berita di Instagram Series, (2) racik dan olah hal pribadi menjadi berita, (3) berita tayang di portal dengan jutaan pembaca, (4) subjek berita merasa taknyaman, (5) jurnalis menyangkal takada kesalahan dalam pemberitaan, (6) netizen bereaksi, dan (7) redaktur meminta maaf.

Timbullah syak wasangka. Apakah berita akan tetap dicabut seandainya netizen tidak mempersoalkannya? Itu pertama. Apakah tim redaksi akan tetap meminta maaf seandainya kasus tidak merebak dan telanjur dikonsumsi khalayak? Itu yang kedua. 

Namun, bukan itu saja. Ada beberapa hal yang janggal dari penayangan berita tentang Nora. Pertama, pewarta mengambil konten berita dari Instagram Series. Tentu saja ada cacat proses dalam mengumpulkan berita, karena dilakukan secara diam-diam.

Kedua, berita tayang tanpa klarifikasi dan verifikasi kepada subjek berita. Ini juga janggal, sebab isi berita menyangkut hal pribadi seseorang. Ketiga, jurnalis menjawab komplain subjek berita secara tidak etis. Seharusnya meminta maaf, malahan berlagak sengak dengan menanyakan "salahnya di mana?".

Keempat, inisiatif meminta maaf muncul setelah detikcom mendapat serbuan netizen. Hal ini menunjukkan ketidakgesitan detikcom dalam menanggapi dan menangani masalah. Kelima, isi berita yang sebenarnya taklayak tayang. Kalau mau jujur, kesalahan tidak hanya ada pada jurnalis, tetapi juga pada redaktur yang meloloskan berita sehingga naik tayang.

Lima kejanggalan itu sebenarnya tidak akan terjadi apabila etika jurnalistik diindahkan. Akibat abai pada kode etik jurnalistik, jurnalis seperti menggali lubang kuburan sendiri. Fatalnya, tim redaksi luput pula memeriksa naskah dengan saksama.

Apakah hanya jurnalis di detikcom yang pernah mengalami kasus serupa? Tidak. Banyak portal berita yang kerap mengusung berita serupa. Mirip koran kuning di media konvensional. Hal pribadi yang tidak layak dikonsumsi publik dengan enteng dipublikasi.

Mantan komisieoner Komisi Komunikasi Amerika Serikat, Nicholas Johnson, menyatakan bahwa ada lima hal mendasar yang menyangkut kasus media daring yang hampir sama dengan kasus media cetak dan elektronik.

Lima hal mendasar tersebut mencakup kasus sebagai berikut.

  1. Menyerang kepentingan individu, mencemarkan nama baik, dan membunuh karakter atau reputasi seseorang.
  2. Menyebarkan kebencian, rasialis, dan mempertentangkan ajaran agama.
  3. Menyebarkan hal-hal amoral, mengabaikan kaidah kepatutan menyangkut seksualitas yang menyinggung umum, dan perundungan seksual terhadap anak-anak.
  4. Menerapkan kecurangan dan tidak jujur, termasuk menyampaikan promosi atau iklan palsu.
  5. Melanggar hak cipta dan hak atas kekayaan intelektual.

Kasus detikcom, merujuk pendapat Johnson, terkait dengan poin ketiga. Jurnalis menyebarkan hal-hal amoral dan mengabaikan kaidah kepatutan yang menyinggung khalayak luas. Sudahlah begitu, merasa tidak berdosa pula ketika menanggapi keluhan subjek berita.

Aih!

***

BERITA yang disebar oleh jurnalis kepada khalayak otomatis menjadi konsumsi publik. Itulah sebab mengapa jurnalis portal berita tidak boleh asal-asalan dalam menganggit berita. Baik pewarta dari portal berita mandiri maupun dari portal berita yang dikelola oleh media cetak dan/atau elektronik mesti mengindahkan kecerdasan bangsa.

Satu hal yang harus dicamkan oleh para jurnalis, satu berita berpotensi mengubah persepsi pembaca. Suka tidak suka, jurnalis harus berhati-hati. Jangan gegabah. Nicholas Lemann (2006) mengingatkan:

Berita adalah gagasan dan pemikiran seseorang yang dapat mengubah dunia ketika ia didengar.

Jurnalis media arusutama dituntut untuk menghadirkan berita yang akurat, adil, berimbang, dan menyingkirkan bias politik dari berita. Jurnalis media daring yang kejar-kejaran dengan waktu untuk mengisi portal juga dituntut untuk menerapkan prinsip serupa. Hanya itulah cara supaya media daring turut serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa.

Kasus pemberitaan Nora sebaiknya menjadi pelajaran berharga bagi detikcom, juga bagi portal berita lain yang kerap main kejar tayang dan sering mengabaikan etika demi satu klik. Nama baik media berpilin erat dengan kredibilitas dan kepercayaan pembaca. Itu harus dijaga.

Sekali kredibilitas jatuh dan media kehilangan kepercayaan pembaca, rusak belanga selamanya. Jika belanga sudah rusak, dapur jurnalis juga bisa-bisa kehilangan asap. Artinya, jangan sampai demi kepentingan sesaat maka kepentingan jangka panjang diabaikan. Nanti rugi sendiri. [kp]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun