Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Kritik Pedas, dan Akuisisi Oposisi

11 Februari 2021   05:05 Diperbarui: 11 Februari 2021   05:08 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Temu damai Jokowi dan Prabowo di Stasiun MRT Lebak Bulus seusai Plipres 2019 (Foto: Kompas.com/Kristian Erdianto)

"TIDAK ADA lagi cebong dan kampret," kata Presiden Jokowi. Pernyataan itu beliau lontarkan seusai bertemu dengan Prabowo pada Sabtu, 13 Juli 2019, di Stasiun MRT Lebak Bulus. Usai sudah Pilpres 2019 yang sempat mengotak-ngotakkan rakyat Indonesia telah usai.

“Semuanya sekarang merah putih,” kata Prabowo pada konperensi pers, dinukil Kompas.com. Dua pihak yang sebelumnya bersaing memburu kursi RI-01 akhirnya bertemu. Pemilihan lokasi Stasiun MRT Lebak Bulus sebagai tempat pertemuan semacam simbol agar masyarakat Indonesia sudi selekas-lekasnya melupakan perbedaan.

Pada kesempatan yang sama, Prabowo menyatakan akan tetap mengkritik kinerja pemerintahan demi kepentingan rakyat. Sepanjang periode pertama Jokowi (berpasangan dengan Jusuf Kalla), Partai Gerindra memang bersikap sebagai partai oposisi bersama PKS. Lahirlah sosok-sosok yang cukup rajin “bernyanyi”, seperti Fadli Zon (Gerindra) dan Fahri Hamzah (PKS).

Namun, kenyataan berkata lain. Prabowo tidak sanggup menampik pinangan Jokowi untuk masuk dalam jajaran kabinet. Ia mendapat kursi Menteri Pertahanan RI. Dengan demikian, keoposisian Partai Gerindra turut mengalami resistensi. Fadli Zon yang semula kerap “bernyanyi”, pelan-pelan kicep dan sekarang sudah jarang terdengar “nyanyiannya”.

Langkah yang dilakukan oleh Jokowi tentu saja sah dalam praktik demokrasi. Pemerintah butuh sokongan kuat dari parlemen. Menarik Partai Gerindra ke dalam lingkar koalisi pendukung akan memperkokoh posisi pemerintah. Oposisi pun tergerus. Hanya tersisa PKS yang memilih setia beroposisi. Adapun Partai Demokrat seakan-akan bermain dua kaki: satu kaki ingin mendekat ke Istana Negara, kaki lainnya ingin berada di kubu oposisi.

Akuisisi oposisi. Tampaknya istilah itu cukup memadai untuk menggambarkan langkah politis yang dilakukan Jokowi. Pada satu sisi terlihat sebagai upaya untuk meredam perbedaan akibat pilpres, pada sisi lain terlihat sebagai langkah pelemahan oposisi. Hasilnya dapat diterka. Senayan seakan-akan sekadar tempat rapat penyetujuan usulan pemerintah. 

Menanti kritik pedas dan mengakuisisi oposisi

"BERI kami kritik pedas," kata Jokowi. Permintaan itu beliau lontarkan pada Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2/2021), melalui kanal Youtube Ombudsman.

Andai saja Partai Gerindra tidak diakuisisi, kritik pedas akan berserakan di mana-mana. Memang PKS masih setia dengan lakon oposisinya, tetapi Demokrat tengah sibuk dengan ancaman kudeta. Parlemen melemah. Akibatnya, Jokowi meminta kritik dan masukan langsung kepada masyarakat.

Akuisisi oposisi yang dilakukan oleh Jokowi telah menunjukkan dua hasil, yakni (1) partai oposisi melemah, dan (2) fungsi oposisi mandek. Padahal oposisi, jikalau berjalan dengan baik, bukanlah sekadar menunjukkan sikap asal berbeda atau berani melawan kebijakan pemerintah. Makna oposisi tidak seremeh itu.

Secara ideal, oposisi adalah kelompok di luar pemerintah yang mampu mengontrol dengan tegas dan memberikan alternatif kebijakan yang bernas. Sayangnya, eksistensi oposisi setelah diakuisisi oleh Jokowi makin rapuh. 

Kita bisa melihat kondisi hari ini. PKS bergerak parsial, seperti pekerja serabutan yang menerima pekerjaan apa saja. Sementara itu, Partai Demokrat sibuk menggerogoti pemerintah dengan isu kudeta. Kebijakan pemerintah, seperti penanganan pandemi korona, tidak mendapat kontrol tegas dari pihak oposisi. Fungsi oposisi terlihat macet.

Padahal, oposisi dapat pula berfungsi sebagai pengendus dan pengembus "bau busuk" yang disembunyikan oleh pemerintah. Sekadar pengingat, kita bisa mengeja ulang pendapat Leslie Lipson (1964, 247) yang menyatakan bahwa:

“Di beberapa negara demokrasi--baik yang menganut model mayoritas maupun konsensus, bahkan campuran sekalipun--partai oposisi dapat membuka kedok yang dilakukan oleh partai berkuasa manakala melakukan tindakan yang tidak adil. Keberadaan oposisi diperlukan untuk dapat mengekspos ketidakadilan, jika itu ada.”

Riwayat perjalanan oposisi di Indonesia memang sudah panjang. Jika kita mundur pada masa-masa awal kemerdekaan, pihak oposisi terjerembap dalam situasi “seperti ada, padahal tiada”. Pada masa Orde Baru, oposisi mengalami pengucilan sadis. Oposisi diberi embel-embel tidak sesuai dengan jati diri bangsa. Kadang dituding antipembangunan. Dua era itu dapat kita tengarai sebagai penyebab oposisi mati suri.

Orde Baru dan Orde Lama berhasil mencitrakan oposisi sebagai sebuah kesalahan. Oposisi bukan jati diri bangsa; oposisi antek kekuasaan asing; oposisi pasti kontrarevolusi; oposisi anti-Pancasila; oposisi tidak natural; dan oposisi berasal dari kalangan ekstrem. Rupa-rupa citra buruk diterakan kepada oposisi. 

Memasuki era reformasi, harapan atas kehadiran oposan yang berkualitas kembali mengemuka. Oposisi diharapkan mampu menumbuhkan demokrasi yang lebih sehat. Sayang, sebagian pihak masih mengira oposisi sebagai sekadar penggembira di kancah demokrasi. Tidak heran jika oposisi dipandang sebelah mata, baik oleh masyarakat maupun pembesar partai. Menjadi oposan alamat mengancam keberlangsungan partai.

Memasuki periode kedua pemerintahan Jokowi, kali ini berpasangan dengan Ma’ruf Amin, tumbuh kembang sikap kritis lebih banyak di kalangan cendekiawan, pemerhati politik, dan warganet. Keberadaan platform media sosial memudahkan saluran kritik itu. Tiap orang dapat dengan mudah mengasongkan kritik, bahkan ada yang saking pedasnya sampai-sampai kritik disamakan dengan hujatan atau umpatan.

Sayangnya, nasib pengkritik acapkali berujung pilu. Kebebasan bersuara, berpendapat, dan berekspresi ditandingkan dengan UU ITE. Dalam beberapa kasus, terlihat kecenderungan tebang pilih. Pihak yang mendukung pemerintah jarang berakhir di penjara, sementara pihak yang berseberangan banyak yang mendekam di penjara.

Mencari jati diri oposisi

HARUS kita akui, eksistensi dan pertumbuhan demokrasi di Indonesia belum sempurna.  Bahkan, masih jauh dari sempurna. Keberadaan oposisi "yang antara ada dan tiada", tanpa kita sadari, justru menyediakan tempat lapang bagi munculnya praktik politik yang mereduksi hakikat demokrasi itu sendiri. Pelaksanaan kekuasaan belum terkontrol dengan kuat, karena kekuatan oposisi masih limbung dan sempoyongan.

Meminjam analisis Dahl (1971), kita tidak bisa memungkiri bahwa oposisi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi. Pohon demokrasi tidak akan tumbuh rimbun dan rindang selama cara kita memandang oposisi masih sebelah mata. Padahal, oposisi amat kita butuhkan sebagai alat kontrol terhadap pemerintah.

Kita tidak bisa lagi menganggap oposisi sebagai tradisi impor, sebab sistem demokrasi kita memang hasil impor, bukan lahir dan tumbuh sendiri di Nusantara. Satu hal yang patut kita camkan, oposisi bukan sesuatu yang asing atau masih baru di Indonesia. Studi Kroef (1977) menunjukkan bahwa oposisi sudah hadir sejak awal dalam sistem demokrasi kita. 

Apa yang terjadi hari ini? Partai politik cenderung bersikap pragmatis. Alasan bergabung atau berada di luar pemerintahan bukan atas dasar ideologi partai, melainkan demi raihan suara pada pemilu berikutnya. Andaikan alasan berkoalisi atau beroposisi dilakukan atas dasar ideologi, partai yang tidak seideologi dengan pemenang pemilu otomatis akan menjadi partai oposisi.

Bagaimanapun, keberadaan partai oposisi merupakan sesuatu yang inheren dalam sistem demokrasi. Tanpa partai oposisi, demokrasi seperti “anak muda yang mudah sakit-sakitan”. Memang masih ada partai oposisi selain yang telah diakuisisi oleh Jokowi, tetapi terkesan "lemah syahwat".

Simpulan

APABILA partai oposisi bekerja dengan baik, benar-benar bekerja demi rakyat atau konstituen yang diwakili, kehadiran partai oposisi dapat semakin meningkatkan kualitas “wakil rakyat” di DPR. Dengan begitu, DPR sebagai lembaga yang bertugas mengontrol kekuasaan pemerintah semakin berdaya guna.

Itu sebabnya kita harus segera mencari cara untuk mengembalikan marwah partai oposisi pada tempat yang semestinya. Elite partai mesti menumbuhkan kesadaran berpolitik sehingga tidak melihat oposisi sebagai posisi yang merugikan.

Selain itu, khalayak luas juga mesti menumbuhkan cara pandang baru terhadap partai oposisi, setidaknya dengan tidak memandang oposisi sebagai “hama pengganggu demokrasi” atau partai penggembira belaka.

Dengan begitu, Pak Jokowi tidak perlu kasak-kusuk meminta kritik pedas, sekalipun beliau jelas-jelas mengakuisisi oposisi.

Rujukan:

  1. Dahl, A. Robert (Ed.). 1965. Political Opposition in Western Democracies. New Haven and London: Yale University Press.
  2. Dahl, A. Robert. 1971. Poliarchy: Participation and Opposition. New Haven and London: Yale University Press.
  3. Kompas.com. 13 Juli 2019. Pertemuan Prabowo-Jokowi di Stasiun MRT yang Sarat Makna. (Diakses pada 10 Februari 2021).
  4. Kroef, J. van der. November--Desember 1977. The Indonesian Opposition. Asian Affairs, 5 (2), 109--125.
  5. Lipson, Leslie. 1964. The Democratic Civilization. New York: Oxford University Press.
  6. Pabichara, Khrisna. 9 Februari 2021. Jokowi dan Kontradiksi Kritik Hari Ini. Kompasiana.com. (Diakses pada 10 Februari 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun