Liverpudlian tidak perlu mangkel hanya gara-gara Liverpool kalah di kandang sendiri. Kekalahan itu biasa, sama seperti kemenangan. Jika kita mau merenungkan dengan kepala yang dingin, kekalahan hanyalah kemenangan yang tidak menjadi kenyataan.
Jangan sewot, Bray. Kalian pasti sering mendengar kutipan pelecut motivasi ini: Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Ya, itu memang betul. Namun, celah luka batin bisa melebar lantaran kutipan itu. Kalau kalah lagi, lalu kalah terus, Liverpudlian bisa mengalami demotivasi alias kehilangan motivasi.
Sebagai hiburan atas rasa perih yang menimpa sahabat pendukung Liverpool di antero Indonesia, berikut saya sajikan empat faktor yang menyebabkan Liverpool keok di kandang sendiri. Kenapa mesti empat? O, alasan saya kuat. Empat itu angka genap, persis seperti jumlah gol yang bikin Liverpool kalah.
Ayo kita komen, eh, kemon!
Pertama, Alisson lupa kalau ia pemain Liverpool. Ini serius. Naga-naganya Alisson kena ilmu sirep. Semacam aji lampah-lumpuh sehingga Alisson pengar, linglung, lalu menyangka Silva dan Foden sebagai rekan setim. Padahal, bukanlah!
Gara-gara terkena sirep yang ampuh bin sakti itulah sehingga Alisson mengoper bola kepada Foden pada menit ke-72, alih-alih mengirim bola kepada Henderson atau Robertson. Hasilnya sudah tahu, kan? Foden bikin asis, Gundogan mencetak gol kedua pada menit ke-73.
Saking kuatnya sirep yang merasuki Alisson, ia kembali melakukan kesalahan serupa pada menit ke-76. Kali ini ia mengoper bola kepada "rekan bukan setim" bernama Bernardo Silva. Umpan pendek, Cuy. Silva lalu mencongkel bola melewati kepala Alisson. Apa yang dilakukan Alisson? Terpana. Gol ketiga mengoyak jala gawangnya.
Alisson juga berpotensi menggagalkan gol keempat andaikan ia berani berdiri tegak. Memang tembakan Foden tajir melintir, eh, keras menggelegar, tetapi Alisson bisa menghalaunya. Posisinya tepat, kok. Namun, aji lampah-lumpuh masih mengeram di hatinya.
Kedua, Klopp memainkan Tiago Alcantara. Tampaknya Klopp juga terkena sirep. Entah mengapa ia menurunkan Tiago sejak babak pertama. Itu kesalahan fatal. Bagaimanapun, Tiago itu punya rasa sungkan, taknyaman hati, takenak pikiran, jika harus bermain bagus saat melawan City.
Kenapa bisa begitu? Sebab pelatih City, Pep Guardiola, adalah sosok yang membesarkan Tiago. Jadi, tidak salah jikalau abangda Rafinha Alcantara itu enggan melanggar anjuran "bagai kacang lupa kulit". Ia penganut ilmu tunduk dan takzim kepada guru. Hasilnya tahu, kan? Baru main saja sudah merelakan diri terganjar kartu kuning.
Karena sungkan kepada sang suhu, Tiago tidak bermain sepenuh hati. Ia mengejar bola seperti mengejar pacar yang keesokan harinya akan menikah dengan orang lain: linglung, limbung. Itu kesalahan parah Klopp dalam meracik strategi melawan Pep.