Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Diserang Pendengung Rupiah, Kwik Kian Gie Keder

7 Februari 2021   19:05 Diperbarui: 7 Februari 2021   21:16 1903
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

STASIUN televisi terbesar di Republik Wekawekaweka, Lokcan, kembali menayangkan gelar wicara. Tayang langsung. Tiga Indonesianis, peneliti soal keindonesiaan, sudah nongkrong di studio. Mereka akan bertukar pikiran tentang fenomena kebebasan berpendapat warga Twitter di Indonesia.

Baru-baru ini, Sabtu (6/2/2021), Kwik Kian Gie mengeluhkan kegarangan warganet di Twitter. Ia merasa belum pernah setakut sekarang mengeluarkan pendapat yang berseberangan dengan Pemerintah Indonesia, sekalipun berupa kritik yang konstruktif.

"Saya belum pernah setakut saat ini mengemukakan pendapat yang berbeda dengan maksud baik memberikan alternatif. ... Zaman Pak Harto, saya diberi kolom sangat longgar oleh Kompas. Kritik-kritik tajam tidak sekalipun ada masalah."

Begitu cuitan Kwik Kian Gie di akun twitternya, @kiangiekwik. Beliau membandingkan era pemerintahan Soeharto dengan era Joko Widodo. Tak ayal, ekonom yang pernah menjabat Menko Ekuin pada pemerintahan Gus Dur itu menuai kecaman.

Tiga panelis sudah siaga satu. Paling kiri, Profesor Demo Tivasi. Beliau guru besar komunikasi politik Universitas Takada. Profesor Ulara, pakar cocokologi dari negara tetangga, Republik Dong Eng. Duduk paling kanan, Profesor Repot Isasi, psikolog dari Universitas Takada.

Sebenarnya stasiun Lokcan juga mengundang adik kembar Ulara, namanya Ulari. Namun, pakar asbunologi itu sedang kurang bugar setelah keluyuran semalaman di Gang Sapi. Meski begitu, gelar wicara (orang Inggris menyebutnya talkshow) tetap ditayangkan.

Seperti lazimnya diskusi, debat, dan kegiatan intelektual lain di Wekawekaweka, gelar tayang tak memakai pewara atau moderator atau apa pun namanya. Ulara sudah diberi tahu soal itu dan ia sepakat saja.

"Saya hanya minta satu hal," kata Ulara saat rapat persiapan, "izinkan saya membawa diari, sebab ingatan saya mulai lapuk dimakan usia."

Tim kreatif setuju, panelis lain mengiya. Tidak seorang pun memprotes permintaan Ulara, sebab tenggang rasa sangat terjaga di Wekawekaweka. Lagi pula, diari bukanlah sesuatu yang tabu. Presiden Kong Fey Lix pun dengar-dengar akan segera melansir diari: Catatan Harian Pembenci Diari.

Kwik Kian Gie dan Kegilaan Masa Kini

REPOT Isasi membuka acara. "Pak Kwik mengalami gegar budaya. Tiap zaman ada generasinya, tiap generasi ada zamannya. Naga-naganya beliau mulai pikun. Pada zaman Soeharto belum ada istilah negara ber-flower. Yang ada, semangkin. Atau, saya sudah mendapat instruksi daripada Pak Presiden. Sekarang beliau gagap saat memasuki zaman generasi milenial."

Guru besar yang terkenal sudah putus urat takut itu bertutur dengan suara pelan dan bernada mengalun seperti ombak di dalam ombak. Kwik, katanya, harus mengaji kembali fatwa Habermas dalam Public Space (2006:286) soal ruang publik.

"Jangan kolokan. Sudah tahu media sosial kejam, berani-berani bikin akun Twitter. Begitu menyatakan pendapat, langsung keder dan umbar keluh. Tidak bisa begitu." Repot berhenti sejenak. "Banyak kajian etnografi virtual yang menyibak kegagalan generasi kolonial berhadapan dengan generasi milenial. Yang satu naik gerobak sapi, yang satu naik moda raya terpadu atau mass rapid transit."

Profesor Demo Tivasi menimpali. "Seingatku, kebebasan berpendapat sudah dijamin di Indonesia. Dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat (3) diatur tentang 'setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan berpendapat'. Kwik boleh mengkritik, tetapi ia juga harus siap dikritik."

Beliau juga mengutip isi Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, "Everyone has the right to freedom of opinion and expression." Dengan demikian, ujar profesor yang doyan blak-blakan itu, setiap orang berhak menyatakan pikiran atau pendapatnya, disampaikan melalui media apa saja, dan tanpa batasan wilayah.

"Bagaimana menurut Bung Ulara?" tanya Demo kepada panelis tamu dari Republik Dong Eng.

Ulara duduk melingkar di atas kursi dengan leher mencuat panjang ke atas melewati permukaan meja. "Kita harus menyadari, maksud saya Pak Kwik, karakter warganet di Twitter. Jangan kayak orang asing di nagari yang baru didatangi. Warganet Indonesia itu punya tiga sikap dasar. Kepo, kejam, dan kolokan."

Begitu satu isu tersiar, tutur Ulara sambil sesekali membolak-balik halaman diari dengan lidah bercabangnya, warganet langsung penasaran alias kepo. Lalu, komentar kejam alias bengis pun terlontar. Begitu diserang balik, kolokan nongol. 

Maka dari itu, katanya lagi, warganet Indonesia gampang sekali termakan hoaks. Akibat bekal kepo kuadrat, kabar apa saja cepat diterima, dipercaya, lalu disebar. Soal benar atau tidak, belakangan. Ini perkara main dulu-duluan. Kalaupun salah, ucap Ulara, nanti juga bisa meminta maaf.

Kwik Kian Gie dan Kenangan Masa Lalu

"SAYA pikir," tutur Repot, "tilikan Profesor Ulara masuk akal. Tiga tabiat itu lahir dari kungkungan kebebasan berekspresi pada masa lalu. Ketika Soeharto berkuasa, tidak ada media sosial. Tidak mudah juga mendapat jatah kolom di Kompas. Susah!"

Ulara mengangguk-angguk. "Sepakat, Prof. Dulu, dengan media terbatas saja, kadang ada sosok yang hilang misterius. Entah dikarungi, entah digelandang. Andai masih Presiden Soeharto yang saat ini berkuasa, beliau pasti angot-angotan. Dikit-dikit suruh culik, dikit-dikit pasang kios rokok buat mengintai lawan politik. Untung itu tidak terjadi di Negeri Dong Eng. Untung pula tidak ada di Wekawekaweka."

"Kami punya presiden karismatik yang menjunjung tinggi kebebasan," ucap Demo. "Presiden Kong Fey Lix malah tidak suka jikalau rakyatnya membebek begitu saja pada kebijakan pemerintah. Undang-undang, kritik. Sekeras apa pun, tidak akan dipolisikan. Sekasar apa pun, mustahil dimejahijaukan. Masak iya presiden dan lingkarannya memenjarakan rakyat yang dipimpinnya?"

Ulara mendadak terkekeh-kekeh. Repot dan Demo menoleh, mengernyit, dan menganga. Ulara lekas-lekas menghentikan tawa, menutup mulut dengan ujung ekornya, berkata "maaf" sembari mengangguk-angguk, lalu memperbaiki sikap duduknya.

Pelan-pelan ia berkata, "Ujaran kebencian di Nusantara sekarang menjadi hal biasa. Perseteruan antara pendengung rupiah (buzzerRp, pro pemerintah) dan pendengung oposan terus terjadi. Kata-kata kasar tak ditakar." Ia berhenti sejenak merasa salah kata. "Sebagai warga negeri fabel bernama Republik Dong Eng, saya sering belingsatan melihat rakyat Indonesia."

"Kenapa?" tanya Demo.

"Mereka pilgub, segala nama rakyat negeri kami diseret-seret. Lebih sewot lagi, mereka mencatut nama ordo di negara kami saat pilpres. Pendukung Jokowi disebut cebong, ordo dari kelas kodok. Pendukung Prabowo dinamai kampret, ordo dari famili kelelawar. Mereka tidak tahu bagaimana caranya membinatangkan binatang," ujar Ulara dengan pelupuk tergenang air mata.

"Jangankan membinatangkan binatang," kata Demo, "memanusiakan manusia saja sudah banyak yang lupa cara melakukannya. Mengkritik pemerintah boleh, tidak ada larangan. Mengkritik orang yang mengkritik pemerintah juga boleh. Bahkan, mengkritik orang yang mengkritik orang lain yang mengkritik pemerintah juga boleh."

Repot menimpali, "Sekarang ada kadal gurun."

"Betul, Prof," kata Ulara. "Saya mengacungkan jempol kepada Pak Kwik. Sekalipun sudah tua, beliau masih setia urun saran bagi kemajuan negaranya. Beliau tinggal beradaptasi dengan era digital. Anak-anak muda mestinya menghargai orang tua. Kalaupun dianggap nyinyir, ya, kata nyinyir memang identik dengan orang tua. Apa susahnya ambil sesuatu yang baik."

Repot menyandarkan punggungnya ke kursi. "Generasi milenial perlu mempelajari sikap seperti apa yang tepat saat berkomunikasi dengan orang tua."

Demo tersenyum. "Profesor Repot seperti tidak pernah muda saja. Namanya juga anak muda, watak sengak dan mulut nyablak sudah biasa. Sewaktu Anda masih kuliah, Anda pernah main gitar di depan istana. Anda cuma mengulang-ulang lirik 'Pak Tua sudahlah'. Untung Kong Fey Lix bukan presiden berkuping tipis."

Mereka tertawa serempak. Entah mentertawakan masa muda Profesor Demo, entah meledek Presiden Wekawekaweka yang tetap moderat kepada para pelawan pemerintah, entah mengejek Kwik Kian Gie yang luput membaca tanda-tanda zaman.

Layar televisi berkedip. Iklan rengginang garing muncul. Para panelis bertukar senyum, sebab Ulara tidak bisa bersalaman atau berpelukan.

Salam takzim, Khrisna Pabichara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun