Jeda selama setengah menit sudah cukup bagi Repot untuk mempersilakan pakar lain urun bicara. Kepo Losan mengangkat corong. “Ada luka komunal yang tertinggal dalam sejarah partai politik di Indonesia. Peristiwa Kudatuli, Kudeta Dua puluh Tujuh Juli (1996), tetap sebagai misteri, karena dugaan keterlibatan SBY, sekalipun dugaan itu tidak pernah bisa dibuktikan.” [2]
Dua panelis sudah angkat suara. Andaikan dua panelis itu berbicara di sebuah forum di Indonesia, kemungkinan besar sudah membuat pemirsa mengantuk sebab urat leher mereka tidak tegang, suara mereka tidak bernada ngegas, dan ekspresi mereka datar layaknya profesor mengajar di kelas.
Segmen Kedua: Yang Baik Dilanjutkan, yang Belum Baik Diperbaiki
Demo Tivasi membuka segmen kedua. Ia bertutur tentang AHY yang mudah kehilangan memori. Ia membabar tentang orasi politik AHY tatkala berpidato di depan peserta Rapimnas PD pada 10--11 Maret 2018 di Sentul Internasional Convention Center (SICC), Bogor. [3]
Kala itu, kata Demo, AHY dengan berapi-api AHY menyatakan bahwa: yang baik dilanjutkan dan belum baik akan diperbaiki. “Komunikasi politik yang dibangun oleh AHY seperti ‘menjilat ludah sendiri’. Jika masih ada yang belum baik di tubuh Demokrat, benahi dan perbaiki dulu. Jangan buka ke hadapan khalayak luas.”
Melihat Demo bersandar ke sofa biru, Kepo angkat bicara. “Apa yang dilakukan oleh AHY adalah langkah untuk memperbaiki atau membenahi partai. Kalaupun ia ‘menembak’ Moeldoko, saya pikir, itu bagian dari strategi komunikasi politik.”
Repot tidak mau kalah. Begitu Kepo berhenti, ia langsung berkata, “Saya sepakat dengan Prof Demo. Harus diingat, banyak pihak internal partai yang menuding AHY sebagai politikus karbitan. Anas sendiri secara tersirat lewat Twitter menyebutnya sebagai ‘berada di puncak, tetapi bukan pendaki’. Jadi, AHY mesti rajin membaca ulang pidato politiknya.” [4]
“Justru di situlah letak kecerdasan AHY dalam memanfaatkan peluang,” kata Kepo. “Ia tahu, rakyat Indonesia itu gampang lupa. Jangankan isi pidato yang sudah tiga tahun berlalu, koruptur yang kembali maju menjadi caleg saja bisa terpilih.”
Demo menghela napas, lalu berkata, “AHY dan lingkar terdekat mesti menengok fatwa Harold soal bagaimana komunikasi ditaja. Who says that in wich channel to whom with what effect. Itu aturan dasar. Siapa mengatakan apa, kepada siapa, menggunakan saluran apa, dan apa efek dari perkataannya.” [5]
Jika ia abaikan satu saja dari aturan dasar tersebut, tutur Demo, dampak bagi partainya bukan hanya keuntungan, melainkan juga kerugian.
“Isu kudeta dengan menyeret nama Jokowi pasti menjanjikan laba elektoral," kata Demo, "tetapi dapat juga menyuguhkan rugi emosional. Demokrat bisa saja kehilangan simpati rakyat, karena bikin gaduh saat Indonesia sibuk menghadapi pandemi.”
Segmen Ketiga: Jika Takut Gelombang, Jangan Menjadi Nakhoda
Repot membuka segmen ketiga. “Tilikan Prof Demo keren,” katanya seraya tersenyum. “Partai Demokrat saat ini sedang mencari posisi tawar di hadapan rakyat. Koalisi enggan, oposisi setengah hati. Slogan bersinergi dengan rakyat pun dikumandangkan. AHY berusaha mendongkrak citra partai dengan meniru metode ayahnya, menjadikan diri sebagai korban agar mendulang simpati elektoral.”