Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Pemda dan Sekolah Tidak Boleh Melarang atau Mewajibkan Jilbab

4 Februari 2021   17:23 Diperbarui: 4 Februari 2021   17:35 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim (Foto: Webinar Kemendikbud via Kompas.com)

TIGA menteri duduk bersama. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama. Mereka sepakat meneken surat keputusan bersama. Keputusan yang mengikat dua pihak utama, Pemerintah Daerah dan sekolah. Dua pihak tersebut tidak boleh lagi melarang atau mewajibkan jilbab. Titik. Tanda seru!

SKB tersebut mengatur tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Aturan itu berlaku khusus di lingkungan sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Artinya, sekolah negeri. Jenjangnya pendidikan dasar dan menengah.

Ada beberapa hal mendasar yang melatari lahirnya kesepakatan tiga menteri ini. Semuanya tertuang di dalam konsideran butir menimbang. Kadang-kadang kita, baik yang sumbu pendek maupun sumbu panjang, hanya membaca bagian menetapkan atau memutuskan, padahal kita mesti menimbang dan mengingat dulu sebelum menetapkan sesuatu.

Berikut butir penting dalam konsideran menimbang.

Pertama, peran sekolah. Sebagai kawah tempat generasi penerus cita-cita bangsa digodok, sekolah bertanggung jawab menjaga eksistensi ideologi dan konsensus dasar bernegara. Kita tahu, konsensus negara kita adalah Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika.

Selain itu, sekolah berperan penting dalam membangun dan memperkuat moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama yang dianut oleh peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.

Dengan demikian, keragaman agama dan moderasi beragama mesti ditegakkan di atas fondasi bernama Pancasila dan kolega. Mengaku Indonesia, tetapi menolak sila pertama dengan amar mewajibkan atau melarang jilbab. Itu kebangetan.

Keragaman agama dan moderasi beragama juga mesti ditegakkan di atas fondasi UUD 1945. Dari situ kita ketahui bahwa semua orang berhak memilih, menganut, dan menjalankan ibadat sesuai dengan agama dan keyakinan yang dianutnya.

Selain itu, lucu rasanya jikalau kita mengaku sebagai Warga Negara Indonesia, menyetujui ada dan berada dalam wilayah NKRI, bahkan ada yang acapkali berteriak "NKI Harga Mati", tetapi tidak menghargai dan menghormati keragaman agama.

Kedua, fungsi sekolah. Sekolah sebagai wadah tempat menggojlok karakter, pengetahuan, dan keterampilan calon pemimpin dan penyelenggaran negara, berfungsi untuk membangun sikap, wawasan, dan karakter peserta didik, pendidik, dan tenaga pendidikan.

Tujuan pembangunan sikap, wawasan, dan karakter itu adalah untuk memelihara persatuan dan kesatuan bangsa, serta membina dan memperkuat kerukunan antarumat beragama. Lantaran pewajiban dan pelarangan jilbab dapat mengancam persatuan dan kesatuan bangsa, lahirlah aturan bernama SKB Tiga Menteri.

Mengingat fungsinya yang sangat menentukan bagi masa depan bangsa, sekolah harus tetap sebagai garda terdepan dalam menjamin rasa nyaman dan aman bagi tiap pemeluk agama. Bukan menjadi sasana perisakan, penindasan, dan pengekangan kebebasan beragama.

Ketiga, pakaian seragam. Pada mulanya pakaian sekolah diseragamkan agar tidak memperlebar jurang antara yang kaya dengan yang miskin. Lambat laun, karena kebijakan pemerintah daerah dan sekolah, seragam dapat menjadi alat untuk mengintimidasi fisis dan psikis peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.

Maka dari itu, seragam dan atribut di lingkungan sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah harus merupakan salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama. Dengan demikian, seragam mesti bertumpu pada filosofi keseragaman yang menjamin keragaman.

Aturan seragam dan atribut berlaku bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Jadi, bukan hanya pelajar. Guru Bahasa Indonesia, misalnya, apabila ditempatkan di sekolah negeri yang rata-rata menganut agama berbeda, tidak boleh dilarang atau diwajibkan mengenakan seragam dan atribut yang mengandung unsur kekhasan agama yang bukan agamanya.

Tiga butir menimbang dalam konsideran SKB di atas mesti menjadi alas pikir kita dalam melihat, memandang, dan menyikapi kasus pewajiban dan pelarangan jilbab. Tidak bisa disangkal, baik melarang maupun mewajibkan, masih terjadi secara sporadis di beberapa daerah.

Bagaimana dengan hak menjalankan syariat agama bagi pemeluk Islam? Hak tersebut jelas-jelas terakomodasi dalam SKB yang diteken oleh tiga menteri itu. Peserta didik berhak memakai jilbab di sekolah negeri mana pun dalam wilayah NKRI.

Apabila orangtua meyakini bahwa penting bagi peserta didik memenuhi kewajiban menutup aurat saat ke sekolah, sekarang justru tidak perlu khawatir. Apabila ada pemerintah daerah dan sekolah yang melarang penggunaan jilbab maka sanksi menunggu mereka.

Mengapa sekolah negeri tidak boleh melarang atau mewajibkan penggunaan jilbab? Sebab, sekolah negeri diselenggarakan oleh negara, dibiayai oleh pajak yang dipungut dari semua warga negara, dan ditujukan bagi seluruh warga negara.

Kita semua sadar bahwa dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Berdasarkan ketentuan tersebut, pewajiban dan pelarangan jilbab di sekolah negeri berpotensi mengekang dan membatasi hak warga negara, sekaligus berpeluang memberikan celah bagi penyelenggara negara untuk "tidak menjamin kemerdekaan tiap penduduk".

Apabila kita menuding bahwa SKB Tiga Menteri tidak ramah kepada pemeluk agama Islam, kita sebaiknya menahan diri dulu, mendinginkan kepala dan hati dulu, lalu menyimpulkan apakah benar demikian atau tidak, dan, kalau bisa, melihat dari sudut pandang berbeda.

Justru dengan adanya SKB Tiga Menteri ini, siswi yang beragama Islam terlindungi haknya untuk menggunakan jilbab. Patut diingat, beberapa tahun lalu sempat terjadi pelarangan memakai jilbab di daerah tertentu. Dengan adanya SKB ini, pelarangan itu tidak boleh terjadi lagi.

Melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang sejatinya tidak akan merugikan kita. Sekali lagi, tidak akan merugikan kita.

Salam takzim, Khrisna Pabichara

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun