Mengingat fungsinya yang sangat menentukan bagi masa depan bangsa, sekolah harus tetap sebagai garda terdepan dalam menjamin rasa nyaman dan aman bagi tiap pemeluk agama. Bukan menjadi sasana perisakan, penindasan, dan pengekangan kebebasan beragama.
Ketiga, pakaian seragam. Pada mulanya pakaian sekolah diseragamkan agar tidak memperlebar jurang antara yang kaya dengan yang miskin. Lambat laun, karena kebijakan pemerintah daerah dan sekolah, seragam dapat menjadi alat untuk mengintimidasi fisis dan psikis peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Maka dari itu, seragam dan atribut di lingkungan sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah harus merupakan salah satu bentuk perwujudan moderasi beragama dan toleransi atas keragaman agama. Dengan demikian, seragam mesti bertumpu pada filosofi keseragaman yang menjamin keragaman.
Aturan seragam dan atribut berlaku bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan. Jadi, bukan hanya pelajar. Guru Bahasa Indonesia, misalnya, apabila ditempatkan di sekolah negeri yang rata-rata menganut agama berbeda, tidak boleh dilarang atau diwajibkan mengenakan seragam dan atribut yang mengandung unsur kekhasan agama yang bukan agamanya.
Tiga butir menimbang dalam konsideran SKB di atas mesti menjadi alas pikir kita dalam melihat, memandang, dan menyikapi kasus pewajiban dan pelarangan jilbab. Tidak bisa disangkal, baik melarang maupun mewajibkan, masih terjadi secara sporadis di beberapa daerah.
Bagaimana dengan hak menjalankan syariat agama bagi pemeluk Islam? Hak tersebut jelas-jelas terakomodasi dalam SKB yang diteken oleh tiga menteri itu. Peserta didik berhak memakai jilbab di sekolah negeri mana pun dalam wilayah NKRI.
Apabila orangtua meyakini bahwa penting bagi peserta didik memenuhi kewajiban menutup aurat saat ke sekolah, sekarang justru tidak perlu khawatir. Apabila ada pemerintah daerah dan sekolah yang melarang penggunaan jilbab maka sanksi menunggu mereka.
Mengapa sekolah negeri tidak boleh melarang atau mewajibkan penggunaan jilbab? Sebab, sekolah negeri diselenggarakan oleh negara, dibiayai oleh pajak yang dipungut dari semua warga negara, dan ditujukan bagi seluruh warga negara.
Kita semua sadar bahwa dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pewajiban dan pelarangan jilbab di sekolah negeri berpotensi mengekang dan membatasi hak warga negara, sekaligus berpeluang memberikan celah bagi penyelenggara negara untuk "tidak menjamin kemerdekaan tiap penduduk".
Apabila kita menuding bahwa SKB Tiga Menteri tidak ramah kepada pemeluk agama Islam, kita sebaiknya menahan diri dulu, mendinginkan kepala dan hati dulu, lalu menyimpulkan apakah benar demikian atau tidak, dan, kalau bisa, melihat dari sudut pandang berbeda.
Justru dengan adanya SKB Tiga Menteri ini, siswi yang beragama Islam terlindungi haknya untuk menggunakan jilbab. Patut diingat, beberapa tahun lalu sempat terjadi pelarangan memakai jilbab di daerah tertentu. Dengan adanya SKB ini, pelarangan itu tidak boleh terjadi lagi.
Melihat sesuatu dari berbagai sudut pandang sejatinya tidak akan merugikan kita. Sekali lagi, tidak akan merugikan kita.