Dua prajurit purnatugas sedang ramai dibincangkan oleh warganet di media sosial. Mayor Agus Harimurti Yudhoyono dan Jenderal Moeldoko. Yang pertama pensiun dini, yang kedua pensiun normal. Yang pertama ketua umum partai, yang kedua pejabat teras di lingkar Istana Negara.
Pusat tikai mereka adalah kabar angin tentang rencana kudeta terhadap AHY dari kursi PD-01. Kita sudah tahu dari mana kabar angin itu bermula. Awalnya memang kabar angin berembus karena AHY tidak menyebut nama ketika mengabarkan upaya kudeta itu. Alasannya, praduga tak bersalah. Ndilalah, petinggi partai lainnya bacar mulut.
Putra sulung Presiden ke-6 Republik Indonesia itu memang hanya menegaskan bahwa ada sosok di dekat Presiden Jokowi yang telah berupaya melengserkan dirinya secara inkonstitusional dari kursi Ketua Umum Partai Demokrat. Tanpa sebut nama, tanpa tunjuk hidung.
Pak Mayor tidak langsung menyebutkan siapa sosok yang ia maksudkan. Belakangan ada yang melanggar asas praduga tak bersalah itu. Seorang petinggi Partai Demokrat, sebut saja namanya Andi Arief, membocorkan rahasia partai soal siapa sosok perancang dugaan kudeta. Orangnya bernama Jenderal Moeldoko.
Sengkarut makin gaduh. Mayor AHY pun berkirim surat kepada Presiden Jokowi. Ia meminta penjelasan tentang isu yang gencar beredar, yakni Presiden Jokowi merestui upaya kudeta. Itu berarti Pak Mayor meminta penjelasan atas dugaan (masih bisa disebut kabar angin) kudeta yang menimpa partainya.
Mengapa saya sebut isu kudeta di tubuh PD sebagai kabar angin?
Pertama, Pak Mayor sendiri menyebutnya “dugaan kudeta”. Memang bisa saja ada kemungkinan kudeta, tetapi boleh semuanya dugaan belaka. Dengan kata lain, dugaan belum punya kekuatan hukum apa-apa untuk diakui kebenarannya. Salah-salah, dugaan bisa dianggap pencemaran nama baik.
Kedua, Pak Mayor tidak blak-blakan menunjuk sosok terduga. Bisa saja Pak Mayor menyimpan banyak barang bukti yang menguatkan dugaan, tetapi ia sendiri tidak langsung menunjuk sosok terduga. Ia hanya menyebutkan kriteria sehingga orang lain ikut-ikutan menduga-duga.
Apakah kita tidak boleh memercayai kebenaran kabar angin?
Boleh, tetapi sedikit saja. Bisalah sebesar 0,01%. Jangan langsung percaya penuh. Namanya juga dugaan, sama seperti kabar angin dan desas-desus, belum terbukti kebenarannya. Menelan dugaan secara mentah-mentah dapat membuat kita mual dan muak.
Jika ada dua pihak bertikai, jangan hanya mendengar omongan dari satu pihak. Itu adagium yang berlaku umum hampir di seluruh suku di Nusantara. Jadi, santai saja. Sebagai rakyat jelata yang tengah diterpa badai pandemi korona, kita jadikan perseteruan antarelite sebagai bahan seru-seruan saja.