ANDA sedang berduka karena sesuatu yang menyedihkan baru saja menimpa Anda? Tulislah. Anda marah karena atasan Anda marah-marah tanpa sebab yang jelas? Tulislah. Anda riang hati karena menemukan selembar duit seribu rupiah di jalan? Tulislah.
Saya pernah sangat marah karena merasa direndahkan, disepelekan, dan tidak dianggap sebagai manusia. Saya tinju dinding berkali-kali, keras, lagi dan lagi, terus begitu hingga kepalan saya berdarah, tetapi sakit hati saya tidak sembuh.
Saya berbalik, bersandar ke dinding, membiarkan tubuh menggelosor hingga terjelepak di lantai, mengucek-ngucek rambut sendiri, terdiam, merasakan hening memasuki dan merasuki hati, lalu saya menarik napas sebanyak-banyaknya dan mengembuskan sekencang-kencangnya.
Ternyata itu belum cukup memulihkan perasaan saya. Tenang masih jauh dari dada. Jantung masih berdetak keras. Keringat dingin masih berasa di pori-pori kening. Pundak dan tengkuk masih berat seakan-akan tertindih batu besar.
Lalu, saya berdiri dan berjalan ke meja kerja. Membuka laptop, menyalakannya, dan menulis. Ya, hanya menulis. Tidak ada kerangka, tidak ada konsep, tidak ada tema. Pendek kata mengetik begitu saja. Saya tidak memikirkan sedang mengetik apa. Bodoh amat.
Plkemtiaonrspem brikegzmveoagwptz. Uh. Mrekzprtaplkmvxcd. Pft. Rrrgghhkemalgrr. Uzgarkhanrlakepwmaydp. Uft. Mzlopwmabck. Begitu. Tanmakna. Nirfaedah. Tidak jelas. Seperti balita menggerundel. Bagai kakek-kakek menyinyir.
Ajaibnya, saya tertawa keras sewaktu membacanya. Hilang kesal. Hilang sedih. Hilang amarah. Saya baca ulang, tertawa lagi. Kepala yang berat bagai ditindih setruk batu gelondongan, tiba-tiba hilang sendiri. Pundak saya menjadi ringan.
Saat itu saya taktahu apa yang saya tulis. Saya taktahu erti kata “mzlopwmabck”. Saya taktahu makna frasa “plkemtiaonrspem brikegzmveoagwptz”. Ajaibnya, saya bahagia. Begitulah. Sejak saat itu, teori bahwa menulis dapat menjadi terapi trauma saya praktikkan. Langsung.
Hasilnya? Saya tertawa. Saya bahagia. O ya, artikel ini adalah sekuel dari artikel sebelumnya, Niat Menulis supaya Bahagia Malah Makan Hati.
***
BAGAIMANA bisa kejadian traumatis dapat kita sembuhkan dengan menulis? Bisa saja. Tragedi sepahit apa pun dapat kita ringankan lewat menulis. Trauma semenyakitkan apa pun bisa kita obati dengan menulis. Rahasianya cuma dua: tahu caranya dan rajin melakukannya.
Ketika Anda merasa dongkol bukan kepalang karena seseorang di tempat kerja, entah atasan entah rekan, mengintimidasi sanubari Anda dengan perlakuan atau perkataan buruk, tidak usah ke toilet untuk menangis diam-diam. Telan dulu. Tenangkan hati. Pasti tidak mudah, tetapi jauh lebih baik daripada Anda memperlihatkan ketakberdayaan atau kemarahan.
Setiba di rumah, seusai melepas penat, ambil laptop. Tuturkan di situ ekspresi ketika seseorang itu mengomel-omel. Bayangkan tokoh antagonis terjelek untuk menggambarkan karakter si penggerutu di kantor Anda itu. Tulis dialog yang Anda inginkan. Apa saja. “Kau jahap!” Eh, salah. Mestinya “jahat”. Itu satu contoh.
Tulis apa saja. Jangan peram rasa kesal. Biarkan perasaan terdalam Anda tumpah ke tulisan. Rasa marah karena tidak diperlakukan manusiawi, tulis. Rasa sedih karena tipe atasan ideal tidak pas dengan tabiat atasan Anda, tulis. Bagaimana sebaiknya menjadi rekan kerja, tulis. Ekspresi terdingin, sisi terintim, kengerian terperih, apa saja, tulis semuanya.
Setelah semuanya tumpah, ambil jeda sejenak. Lima menit pun cukup. Tutup mata. Tarik napas pelan-pelan, embuskan perlahan-lahan. Buka mata, baca tulisan, dan rasakan kelegaan bergerak dari jantung, menjalar lewat urat, membelai otot, mengelus sendi, dan tenanglah hati.
Begitulah. Menuliskan perasaan negatif dapat membantu Anda meringankan beban hati. Berbeda jika Anda meracau kepada siapa saja, mengumpat-umpat di hadapan orang yang tidak salah, malah menimbulkan luka baru. Marah di kantor jangan ditumpahkan di rumah. Bos yang salah, jangan pasangan atau orang di rumah yang menjadi samsak pelampiasan.
Begitulah. Menuliskan perasaan emosional bisa membantu Anda melepaskan energi negatif yang mengotori kalbu Anda. Dengan begitu, Anda akan lebih lega, lebih puas, lebih bahagia. Hasilnya makjleb. Anda akan mendapati suasana hati yang lebih baik, kesehatan fisik yang lebih baik, dan pandangan atas satu peristiwa buruk yang lebih baik.
Jadi, menulislah jika Anda ingin lebih bahagia.
***
MENULISKAN peristiwa-peristiwa yang menggangu perasaan dapat membantu Anda membuang dendam. Menjelajahi pikiran dan menggali perasaan terdalam dengan menulis, memang, bukan satu-satunya obat untuk menyembuhkan sakit hati, tetapi bisa menjadi salah satu jalan untuk menenangkan hati.
Sederhananya begini. Jika ada sesuatu yang ingin Anda katakan ketika dimarahi atasan atau direcoki rekan kerja, tetapi Anda merasa akan berdampak buruk jika Anda mengatakannya secara blak-blakan--seperti hukuman atau retaknya hubungan, tulis saja. Itu jalan teraman dan ternyaman. Relasi sosial terjaga, rasa sakit Anda terbuang.
Dengan demikian, Anda akan mendapatkan paling tidak dua hal yang menyenangkan. Pertama, menjernihkan pikiran. Ketika Anda sewot sesewot-sewotnya, ambil kertas lalu tulis perasaan dan pikiran terdalam Anda. Setelah semua kesewotan itu tumpah, sobek dan buang kertasnya. Saat itu, Anda tiba pada titik menenangkan yang membuat pikiran Anda lebih jernih.
Kedua, mengatasi masalah. Berhentilah memaksa diri untuk memecahkan masalah. Jika masalah pecah, masalah baru akan timbul dari pecahan masalah itu. Atasi saja kalau menyelesaikan satu masalah berat kita lakukan. Bos marah-marah bukan sesuatu yang bisa Anda pecahkan, sebab Anda tidak tahu penyebabnya. Jika Bos Anda laki-laki, mungkin beliau baru saja dihabisi istrinya di rumah lalu membawa perih hatinya ke kantor.
Jadi, menulislah jika ingin merasa lebih bahagia. Apa pun jenis tulisan Anda, masa bodoh. Kalau banyak yang saltik (salah tik) atau salkat (salah kata), bodoh amat. Tulis saja dulu. Tulis diari juga boleh. Kalau perlu, bergabunglah dengan Forum Diari Kompasiana (FDK)--sebuah organisasi imajiner yang membuat Engkong Felix kelojotan.
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H