Politik tidak harus menjadi api berkobar-kobar yang menghancurkan segala sesuatu yang dilaluinya. ~Joe Biden, Presiden Amerika Serikat
RABU, 20 Januari 2021, Amerika Serikat akhirnya punya presiden baru. Donald Trump kalah. Suka tidak suka, ia mesti lengser dari kursi presiden. Mau tidak mau, ia harus meninggalkan Gedung Putih. Rela tidak rela, ia mesti menyerahkan singgasana kepada presiden baru--Joe Biden.
Trump hanya bertahan satu periode. Ia gagal mempertahankan kursinya. Narasi kecurangan kerap ia dengungkan, tetapi seperti biasa tidak lebih dari gentong kosong yang rapuh--sudahlah berbunyi tidak nyaring, pecah dalam sekali pukul pula.
Rakyat Amerika Serikat melimpahkan harapan baru kepada presiden baru. Joe Biden, petarung dari Delaware, terkenal tangguh menghadapi tekanan derita. Pada 1972, beberapa pekan seusai terpilih menjadi senator termuda di Amerika Serikat, tragedi nahas menimpa keluarganya.
Kecelakaan mobil merenggut nyawa istrinya, Neilia. Putrinya yang baru berusia setahun, Naomi, juga meninggal pada kecelekaan mobil itu. Dua putranya, Hunter dan Beau, terluka parah. Biden sudah tahan melawan nestapa. Orang-orang Paman Sam mengetahui kemampuannya dalam mengatasi tragedi itu.
Betapa tidak, setiap hari ia pergi-pulang dari Delaware ke Washington DC demi mengucapkan “selamat malam” kepada dua putranya. Beban kerja selaku senator, letih menempuh perjalanan dengan kereta selama 1,5 jam, dan tanggung jawab selaku orangtua tidak menyurutkan tekad Biden.
Biden terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat ketika pandemi korona merajalela. Tidak dapat dimungkiri, negara adidaya itu saat ini menjadi negara dengan warga terpapar korona terbanyak di dunia. Tanggung jawab utamanya pada masa awal selaku presiden, tentu saja, mengatasi dampak pandemi korona.
Pada sisi lain, sisa-sisa pertarungan melawan Trump masih berasa. Luka masih menganga. Tidak heran jika banyak kalangan yang menunggu-nunggu pidato politik, pada sisi lain dapat pula disebut pidato kemenangan, ketika Biden mengangkat sumpah sebagai presiden.
Politikus yang matang di kancah politik Amerika Serikat itu menaburkan benih-benih harapan. Biden bukan politikus abal-abal. Pengalaman delapan tahun mendampingi Obama juga menjadi bekal baginya untuk memimpin Amerika Serikat.
***
SETIDAKNYA ada tiga hal penting yang dapat kita petik dari pandangan politik Biden.
Pertama, politik tidak boleh menghancurkan segala hal. Begitulah fakta yang tersisa dari pesta demokrasi. Pendukung saling gesek, pengusung saling gasak. Bertetangga tidak saling menyapa, bersahabat tidak saling menjura. Semula berkawan, ujung-ujungnya berlawan.