Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Tiga Strategi Cespleng Menggali Intuisi

28 Januari 2021   05:00 Diperbarui: 29 Januari 2021   03:08 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SELAIN imajinasi, data, dan fakta, penulis opini harus terampil mendayagunakan potensi intuisi. Menulis dengan menggunakan intuisi sangat menyenangkan dan menggairahkan. Menulis bukan lagi rutinitas intelektual, melainkan tualang batin yang menantang. Gagasan berubah menjadi air sungai, mengalir begitu saja. Mengalir. Begitulah cara kerja intuisi.

Apakah intuisi itu? Bukan gorengan atau kudapan, bukan. Intuisi juga berbeda dengan institusi atau instansi, berbeda. Intuisi sederhananya adalah gerakan hati. Bisa juga, bisikan hati. Dapat pula disebut kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa terlebih dulu mempelajari atau memikirkan sesuatu itu.

Apa kaitannya dengan menulis? Sabar, Bro. Pelan-pelan, dong. Kesusu menelan makanan bisa membuatmu tersedak. Tergesa-gesa menelan pengetahuan bisa membuatmu tersentak. Hehehe. Bercanda. Saya jawab, ya.

Menulis dengan menggunakan intuisi berarti membiarkan tulisan bergerak sesuai keinginan atau bisikan hati. Tamsil lain, menulis dengan membiarkan gagasan mengalir seperti sungai. Tatkala ide membuncah di kepala, tuangkan saja tanpa berpikir macam-macam.

Semacam bermain sulap saja. Ide muncul, blas, abrakadabra, tulisan jadi. Begitu rancang buram tulisan kelar di kepala, plung, simsalabim, tulisan rampung. Sekali duduk, tulisan selesai. Begitu cara kerja intuisi. Menarik, kan?

Namun, memanfaatkan intuisi tidak seperti menggunakan jari-jemari mencari bagian yang gatal di punggung. Polanya sama, tetapi prosesnya berbeda. Mencari bagian gatal di area yang tidak terlihat berjalan secara naluriah, sedangkan menulis dengan menggunakan intuisi merupakan hasil dari proses belajar dan berlatih secara berkesinambungan.

Dengan kata lain, butuh proses. Sekarang anggap saja kita semua sudah terbiasa menulis. Saya yakin banyak pula di antara kita yang sering menulis tanpa menggunakan plot atau kerangka. Semacam bertandang ke kota asing tanpa bekal peta. Datang begitu saja karena yakin akan ada intuisi yang menuntun langkah. Sederhananya begitu.

***

BERDASARKAN anggapan sering menulis tanpa kerangka, mari kita jelajahi potensi dan faedah intuisi.

1. Meliarkan gambaran batin

Kawan, tatkala ingin menulis sesuatu, biarkan pikiranmu berkelana dulu. Biarkan pikiranmu bagai anak yang dibengalkan rasa penasaran. Biarkan pikiranmu disuntukkan oleh ketidaktahuan. Lalu, semua tampak kacau-balau. Tidak berpola, tidak berbentuk. Gagasanmu kemudian menemukan arusnya sendiri. Selanjutnya, mengalir begitu saja.

Begitu terbetik pikiran "ini dulu yang harus saya tulis", jangan tunda waktu. Lekas-lekas ambil laptop atau gawai. Tulis saja apa yang terlintas di benakmu. Tulis, terus tulis. Masa bodoh dengan tanda baca. Peduli setan dengan kaidah. Tulis saja dulu. Terus tulis sampai kamu tiba pada fase "tiba-tiba tahu apa yang ingin kamu tulis".

Pada tahap "tiba-tiba tahu apa yang ingin ditulis", rayakanlah dengan terus mengetik. Ingatan, kenangan, dan pengetahuanmu akan terhambur dengan sendirinya. Kadang muncrat tanpa kendali. Biarkan saja, tulis dulu semuanya. Biarkan kamu hanyut dalam arus intuisi.

2. Biarkan segalanya mengalir

Jika tahap pertama sudah kamu lewati, kamu akan tiba pada belantara kata. Pilih satu atau dua kata sebagai titik fokus. Misalnya, rasiaslime dan kerinduan. Jadikan dua kata itu sebagai landasan. Pijakkan kaki gagasanmu di situ. Suruh pikiranmu menggali ingatan, pengalaman pribadi, mimpi, perspektif, dan kesadaran.

Ketika pikiranmu sudah menemukan semuanya, rasakan benakmu menerikkan "oh, itu dia yang akan saya tulis". Tatkala kamu sudah mencapai tahap itu, tulislah apa saja tentang rasialisme dan kerinduan. Cari jembatan penghubung bagi kedua fokus gagasan itu. Tulis saja sekalipun tampak sama sekali tidak berhubungan.

Setelah melewati dua atau tiga kalimat, kadang kamu tercengang sendiri. Perasaan "oh, ternyata bisa begini" akhirnya menjadi kunci bagimu untuk membuka gerbang bayangan gagasan lantas melihat dan menatanya secara utuh.

3. Bikin peta visual

Dua tahap pertama bisa mengantarmu pada dua situasi, yakni menulis tanpa kendali dan menulis secara menyenangkan. Situasi pertama akan berakhir di terminal beban. Niat sebatas 1500 kata bisa-bisa berakhir 3500 kata. Bablas. Tersasar. Akhirnya, setengah mati menyunting.

Situasi kedua akan membawamu ke pelabuhan bahagia. Hal itu terjadi lantaran kamu melihat menulis sebagai kegiatan yang menyenangkan. Kamu memanfaatkan intuisi untuk menemukan titik-titik ide yang membahagiakan, bukan membahayakan.

Bagaimana jika kamu tersasar? 

Buru-buru bikin peta visual. Tidak usah kautulis, bayangkan saja. Peta visual itu berisi patokan untuk kembali ke titik fokus. Ingat, fokusmu adalah rasialisme dan kerinduan. Peta visualnya berupa (1) kemungkinan pola tabiat rasialis; (2) faktor penyebab si A menjadi rasialis; (3) apa yang kamu rasakan tiap-tiap melihat tindak rasial; dan (4) seberapa rindu kamu pada kondisi hidup tanpa rasialisme.

Khusus untuk kamu yang tiba di pelabuhan bahagia, jangan tepuk dada dulu. Kembali ke alinea pertama. Baca. Resapi. Liarkan imajinasimu lagi. Tambal bagian yang koyak, buang bagian yang busuk. Permak. Perbaiki.  Lalu, rayakan kemenanganmu.

***

SETELAH tulisanmu selesai, bolehlah berjoget-joget sebentar. Lima menit cukup. Lalu, kembali ke laptop. Baca ulang lagi. Kalau mau berpayah-payah, tantang dirimu. Biarkan otakmu memikirkan racikan ulang yang dapat menambah cemerlang tampilan gagasanmu.

Misalnya, pertanyakan (1) apakah tulisan ini bermanfaat atau tidak; (2) unsur kebaruan apa yang ada dari tulisanmu; dan (3) apakah curah idemu sudah mendorong jaring emosional pembaca atau belum. Cukup tiga pertanyaan itu untuk menantang dirimu agar terus bertumbuh.

Begitulah faedah intuisi dan cara mendayagunakannya dalam menulis opini. Kalau sudah terbiasa maka rintangan menulis terjamin hilang dari hadapanmu. Sekali lagi, kata kuncinya terbiasa. Kata kunci itu akan kamu dapati kalau kamu rajin membiasakan diri menulis.

Sebagai wasana, saya ingin mengagihkan petuah Edward Thorndike. Siapa beliau? Singkat saja, ya. Beliau adalah pakar psikologi perbandingan yang dianggap menemukan teori koneksionisme. Begini petuah beliau.

"Warna akan pudar. Kuil akan ambruk. Kerajaan akan runtuh. Namun, kata-kata bijaksana tetap abadi."

Selamat bertualang bersama intuisimu, Kawan!

Salam takzim, Khrisna Pabichara  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun