Lalu lintas kicau di twitter memang sangat cepat. Satu twit dalam sekejap akan dimamah oleh twit lain. Pemuja retwit bisa menjadi cacing kepanasan jika cuitnya tidak mendapat tanggapan warga twitter sesuai keinginan. Lalu, terangsang mencari sensasi.
Begitulah fenomena para penghuni Pulau Twitter. Banyak yang gampang tergelincir ke lubang kedunguan. Banyak yang sering terjungkal ke jurang kegoblokan. Jari seperti pedang bermata dua. Tajam ke kanan, tajam ke kiri. Apa saja dikomentari. Semua dinyinyiri.Â
Tradisi mencari sensasi tak pelak menimpa beberapa pesohor Pulau Twitter. Abu Janda termasuk di antaranya. Entah mengapa jarinya seperti mobil tanpa rem. Sekali mencicit, resah tersulut.Entah kenapa ia tampak malas menggunakan otak dan hati. Cuitannya seperti buah pikir orang yang tidak berakal dan tidak berperasaan.
Baru-baru ini, Abu Janda menarikan jarinya di tombol gawai. Ia menyorot Natalius Pigai. Sungguh tajam kata-kata yang ia gunakan untuk menyerang Pigai. Seakan-akan ia ingin menjegal Pigai cukup dengan sekali tebas.
"Kau Natalius Pigai, apa kapasitas kau?" Penggalan cuitan Abu Janda itu saja sudah mengandung unsur perbuatan tidak mengenakkan. Apalagi jika membaca potongan cicit berikutnya, "Sudah selesai evolusi belum kau?"
Tidak perlu saya uraikan kenapa diksi "evolusi" yang dipilih oleh Abu Janda kental dengan tindak rasial. Maknanya sangat jernih. Kita cukup mengingat teori evolusi Darwin. Dari situ, kilah apa pun tidak dapat digunakan oleh Abu Janda untuk menyelematkan jari, otak, dan hatinya.
Banyak cuitan Abu Janda yang nyelekit minta ampun. Kita akan kerepotan kalau membongkar satu demi satu cuitan itu. Khusus penghinaannya kepada Pigai, Abu memang cocok disebut juru ricuh atau biang kerok. Menghina paras dan fisik seseorang demi menjilat orang lain sangatlah tidak berperikemanuasiaan. Alangkah nista.
Namun, sosok kontroversial penyulut gaduh bukan hanya Abu Janda. Sosok-sosok lain bertumbuh liar di media sosial. Konco-konco sealiran Abu Janda paling senang jika menuai puja-puji. Lawan ditekel, teman dielus. Musuh dirusuh, bos dibelai.
Sungguh saya tidak berniat melebar ke mana-mana.
Kasus rasialisme Ambroncius Nababan kini sudah ditangani polisi. Kapolri baru pun terbawa-bawa. Presiden Jokowi juga terbawa-bawa. Jika penghinaan ras dilakukan demi mengepulkan asap dapur, sungguh cilaka.
Kita ternganga melihat betapa mudahnya seseorang menghina orang lain hanya karena berbeda paras. Itu sebabnya rasialisme patut disebut kejahatan kemanusiaan yang biadab. Itu pula sebab mengapa kaum rasialis layak disebut manusia biadab.
Kita semua mafhum, menghina fisik sesama manusia tiada berbeda dengan menghina ciptaan Tuhan. Kita juga maklum, menghina ciptaan Tuhan berarti menghina Tuhan. Apa yang hendak kita lakukan kepada para penghina Tuhan ini? Cukup satu saja: tidak meniru tabiat buruk mereka.
Apa persamaan antara Abu dan Ambroncius? Jika Ambroncius membawa-bawa gorila, Abu menyeret-nyeret teori evolusi. Pengetahuan yang sejatinya dapat membuat kita makin bijak dan bajik tidak tampak di antara mereka. Dua orang itu justru memanfaatkan apa yang mereka tahu untuk menghina manusia lain.
Sedih. Pedih. Sedihnya, alangkah mudah mereka menista orang lain hanya karena berbeda haluan. Pedihnya, Â sungguh mudah mereka mempermainkan perasaan orang lain hanya karena tidak sependirian.
Semoga borok otak seperti itu tidak menimpa kita.
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H