Memangnya nyamuk peduli pada jenis kelamin?
/3/
Aku ingin menceritakan kisah pelarangan jilbab di Indonesia, Diari. Kala itu, 17 Maret 1982. Dirjen Dikdasmen Prof. Darji Darmodiharjo menerbitkan Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 052/C/Kep/D.82 tentang Seragam Sekolah Nasional. Dari sana bermula lahir larangan berjilbab di sekolah negeri.
Banyak siswi yang menjadi korban. Pada pertengahan 1982, dilansir Detik.com, siswi bernama Siti Ratu Nasiratun Nisa dikeluarkan dari SMAN 68 Jakarta karena berjilbab. Kejadian serupa dialami oleh Ranti Aryani dan beberapa temannya di SMAN 1 Bogor. Setelah itu, pelarangan jilbab marak di Tangerang, Bekasi, Semarang, Surabaya, Kendari, dan kota-kota lain di Indonesia.
Kala itu, orangtua dan pelajar beragama Islam berusaha memperjuangkan hak asasinya untuk mengenakan jilbab di sekolah. Ranti, Hepti, dan Sari dari SMAN 1 Bogor termasuk di antaranya. Mereka berjuang agar mereka tatap bisa menimba ilmu tanpa harus melepas jilbab. Ada yang berhasil, tetapi lebih banyak yang gagal.
Penolakan atas larangan tersebut menimbulkan pergolakan hebat pada tahun 1990. Saat itu, Diari, Mbah Harto selaku Presiden RI mulai ramah pada kelompok muslim. Hal itu ditandai dengan pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Lantaran penolakan di mana-mana, larangan memakai jilbab akhirnya dicabut. Pada 16 Februari 1991 terbitlah Surat Keputusan No. 100/C/Kep/D/1991. Bunyinya tegas, memperbolehkan siswi mengenakan pakaian sesuai dengan keyakinannya. Pada Juli 1991, Mbah Harto dan keluarganya kompak naik haji. Ada hubungannya dengan pencabutan larangan berjilbab? Entahlah.
Meski begitu, Diari, kasus pelarangan berjilbab masih sering terjadi. Bahkan hingga sekarang pun masih terjadi. Dikutip Republika.co.id, pada Februari 2014 seorang siswi di SMAN 2 Denpasar, Anita Wardhani, dilarang mengenakan jilbab di sekolah. Komnas HAM dan PW PII Bali sampai-sampai turun tangan.
Pada 10 Desember 2019 lalu, Kepala Perwakilan Ombudsman Papua Barat Musa Sombuk menemui Kepala SD Inpres 22 Wosi, Kabupaten Manokwari. Hal itu beliau lakukan lantaran beredar kabar tentang pelarangan mengenakan jilbab bagi siswi di SD Inpres tersebut.
Sebagaimana dikutip ombudsman.go.id, aturan pelarangan berjilbab di SD Inpres 22 Wosi adalah aturan tidak tertulis yang berlaku sejak mantan kepala sekolah sebelumnya. Rosanna Sinaga, Kepala SD Inpres 22 Wosi, hanya meneruskan aturan yang sudah ada.
/4/
Begitulah, Diari. Larangan dan imbauan berjilbab masih akan terus ada dan terus diperdebatkan. Tidak akan selesai-selesai.
Baik pihak yang mewajibkan maupun yang melarang siswi mengenakan jilbab, mestinya sadar bahwa setiap pelajar punya hak asasi, hak mendasar sebagai manusia, hak yang melekat sejak pelajar itu dilahirkan. Termasuk, hak untuk mendapatkan pendidikan dan melaksanakan ibadah sesuai agamanya.