Tersebutlah kisah tentang orangtua siswi pada salah satu sekolah negeri di Padang mendatangi sekolah anaknya. Syahdan, orangtua itu keberatan karena pemberlakuan aturan mengenakan jilbab bagi anaknya yang nonmuslimah. Kisah itu tayang dalam sebuah video yang kini menghujani media sosial.
Namun, kisah tentang aturan mengenakan jilbab tanpa pandang agama bukanlah “hujan yang baru turun kemarin”. Sebelumnya sudah pernah dan sering terjadi. Sebagai penyegar ingatan, saya babar kisah sedih Yenima Swandina Alfa.
Begini ceritanya. Yenima, dilansir liputan6.com, nyaris mengurungkan niat untuk menimba ilmu di SMP Negeri 3 Genteng, Banyuwangi. Alasannya, ia terganjal oleh aturan internal yang mewajibkan semua siswi memakai jilbab. Sebagai seorang Kristiani, Yenima tentu saja akan merasa ganjil jika ia mesti mengenakan jilbab.
Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas turun tangan. Atas nama Pemerintah, beliau meminta maaf kepada Yenima dan orangtuanya. Beliau juga menegaskan agar tidak memaksakan aturan berjilbab kepada siswi nonmuslimah.
Kisah lain terjadi pada 26 Agustus 2018. Andreas Alex memajang foto lima orang siswi berjilbab di Facebook. Keterangan foto itu sontak memicu kisruh. Siswi Kristen Wajib Memakai Jilbab di Riau. Begitu bunyi keterangan fotonya.
Lima siswi di dalam foto tersebut bersekolah di SMA Negeri 2 Rambah Hilir di Rokan Hulu. Dinukil Tirto.id, unggahan itu dalam sekejap menjadi santapan warganet. Pihak sekolah menegaskan bahwa penggunaan jilbab bukan aturan, melainkan imbauan.
Kisruh penerapan aturan penggunaan jilbab bagi siswi di sekolah negeri kembali heboh.
Kali ini terjadi di SMK Negeri 2 Padang. Dalam tayangan video berdurasi 15 menit 24 detik, orangtua siswi beradu argumentasi dengan pihak sekolah. Muara telingkahnya, lagi-lagi, karena kewajiban mengenakan jilbab bagi semua siswi.
Orangtua sang siswi merasa keberatan apabila anaknya mesti berjilbab. Dikutip Kompas.com, sebelumnya sang siswi sudah dipanggil untuk menghadap ke sekolah karena tidak mengenakan jilbab saat mengikuti pembelajaran jarak jauh.
Polemik aturan siswi tanpa kecuali mesti berjilbab kembali meruncing. Akibat menuai banyak kritik, Kepala SMK Negeri 2 Padang akhirnya angkat bicara. Beliau meminta maaf atas adanya aturan yang memberati hati siswi nonmuslimah itu.
“Saya menyampaikan permohonan maaf atas segala kesalahan dari Bidang Kesiswaan dan Bimbingan Konseling dalam penerapan kebijakan berseragam di sekolah,” papar Kepala SMK Negeri 2 Padang.
Menanggapi heboh aturan mengenakan jilbab tersebut, Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat Adib Al Fikri menyatakan bahwa aturan mengenakan jilbab bagi seluruh siswi merupakan aturan lama. Tepatnya, berlaku pada 2015 kala Wali Kota Fauzi Bahar memimpin Kota Padang.
Dari kasus-kasus di atas dapat kita simpulkan bahwa muara tikai yang selama ini terjadi berada pada aturan. Sekalipun dalam beberapa kasus pihak sekolah berkilah bahwa perkara berjilbab bagi siswi nonmuslimah bersifat semata-mata imbauan, tetapi dampak psikologis bisa saja menimpa siswi jikalau mereka tidak mengenakan jilbab.
Kasus teranyar di Padang, merujuk pada pendapat Kepala Disdik Sumbar, mengacu pada aturan yang diterapkan oleh Wali Kota Padang sejak tahun 2015. Dengan demikian, sumur sebabnya, ya, masih berkisar pada aturan.
Apakah makna aturan? Jika mengacu pada KBBI, makna aturan dalam butir kedua adalah cara, ketentuan, patokan, petunjuk, atau perintah yang telah ditetapkan untuk diturut. Jadi, jelaslah bahwa aturan selalu mengandung unsur perintag yang mesti diturut. Apabila ada pihak, dengan sengaja atau tidak, yang menyangkal aturan maka sanksi boleh jadi akan dikenakan.
Benarkah aturan penggunaan jilbab tanpa pandang bulu itu? Bagi sebagian pihak boleh jadi hal itu benar, sah-sah saja, atau sesuatu yang lumrah. Bagi pihak lain mungkin saja hal itu tidak bisa dibenarkan. Masing-masing pihak pasti punya argumentasi.
Namun, kita harus ingat bahwa Republik Indonesia punya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam Pasal 4 ayat (1) tertera, “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif, dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur, dan kemajemukan bangsa”.
Esensi pertama, demokratis. Dari ketentuan di atas jelaslah bawah aturan berjilbab bagi seluruh siswi, termasuk yang bukan muslimah, adalah perbuatan yang tidak demokratis. Mengapa demikian? Karena siswi yang tidak beragama Islam diatur agar menjalankan ketentuan agama yang berbeda dengan agama yang ia anut.
Selanjutnya, berkeadilan. Dengan demikian, penyamarataan jilbab jelas-jelas mengandung unsur tidak berkeadilan. Mengapa demikian? Karena kalaupun siswi yang nonmuslimahah mengenakan jilbab, boleh jadi ia merasa terpaksa. Mungkin pula merasa terzalimi, tetapi ia pendam di dalam hati.
Terakhir, tidak diskriminatif. Keharusan mengenakan jilbab sekalipun tidak beragama Islam tidak bisa dinafikan adalah tindakan diskriminasi. Hal itu tidak boleh dibiarkan terus terjadi. Anak masih sekolah sudah dicecoki perilaku intoleran. Hal sedemikian berbahaya bagi perkembangan psikis peserta didik.
Sekarang tiliklah UUD 1945. Dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 tercantum, “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.”
Saya pikir, kita dapat dengan mudah mencerna makna “bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya”. Tindakan menerapkan aturan yang mewajibkan semua siswi berjilbab, baik muslimah maupun nonmuslimah, tentu saja bertentangan dengan UUD 1945.
Selanjutnya, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang secara terang benderang mengakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Memaksakan jilbab bagi siswi nonmuslimah dapat disebut melanggar hak asasi manusia sekaligus menantang konstitusi negara.
Jadi, sebaiknya kita arahkan kembali mata hati pada esensi toleransi. Institusi pendidikan mesti berada di barisan terdepan dalam menanamkan, mengajarkan, dan mewujudkan toleransi. Jika di sekolah saja sudah terjadi pembiasaan dan pembiaran laku intoleran, kondisi di luar sekolah niscaya lebih fatal.
Kalau kita mundur pada 1970 hingga 1980-an, mengenakan jilbab dilarang di sekolah. Kala itu orang-orang memprotes kebijakan tersebut. Alasannya, negara diskriminatif terhadap umat Islam. Sekarang, akankah orang-orang mewajibkan orang lain yang berbeda agama untuk pakai jilbab? Itu balas dendam, Tuan dan Puan. Tidak bijak. Tidak bajik.
Selain itu, aturan berjilbab bagi seluruh siswi di sekolah negeri merupakan dehumanisisa keberagaman. Ada delik mengingkari nilai-nilai kemanusiaan dalam penerapan aturan itu. Perihnya, itu terjadi di sekolah negeri.
Apabila aturan itu terus dibiarkan dan dipaksakan, peserta didik akan terhambat dalam upaya mengembangkan potensi diri. Buat apa anak-anak kita masuk sekolah jika di sekolah negeri saja mereka harus menyaksikan lakon diskriminasi, intoleransi, dan dehumanisasi?
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H