Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Tebang Pohon Rasial di Kepala

24 Januari 2021   13:51 Diperbarui: 25 Januari 2021   00:21 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahagia bersama, bersama-sama bahagia (Ilustrasi: publicdomainvectors.org)

ADALAH Ambroncius Nababan (AN) si pemicu ricuh. Ia pantik riuh karena bacotnya yang rasial. Ia mencederai harkat kemanusiaan. Ia melukai martabat kemanusiaan. Ia menerjunbebaskan akal budinya ke jurang kegoblokan. Simak ocehannya di Facebook yang dipungkasi dengan foto Natalius Pigai.

Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Vaksin Sinovac itu dibuat untuk manusia. Bukan untuk gorila, apalagi kadal gurun. Karena menurut Undang-Undang, gorila dan kadal gurun tidak perlu divaksin. 

Akar perkaranya terletak pada siapa yang boleh dan tidak boleh divaksin. Itu menurut otak sengklek AN. Oh, bukan itu. Pokok masalahnya adalah vaksin tertentu dibuat untuk manusia. Jadi gorila dan kadal gurun tidak perlu divaksin.

Entah apa isi kepala saudara sebangsa kita ini. Jika kepalanya terbuat dari batu, pantaslah ia berkepala batu. Jika ia sebenarnya punya otak maka otaknya bakal laris dipasarkan karena jarang dipakai. Apalagi hatinya. Itu juga kalau punya.

Sesungguhnya perbedaan pandangan dan sikap politik tidak dapat kita jadikan alasan untuk berbuat rasial. Manusia tetaplah manusia. Manusia di mana-mana sama. Berbeda suku, ras, dan warna kulit tidak menjadikan seseorang lebih unggul daripada orang lain.

Tolong, Kawan, jangan jadikan AN sebagai teladan. Otak dan hatinya barangkali sudah ia buang ke tempat sampah. Itu sebabnya ia mengalami gagal pikir dan rusak tabiat. Itu sebabnya ia merasa dirinya Bung Jago, padahal Bungkusan.

***

RASIALISME atau rasisme adalah segala prasangka, diskriminasi, dan penentangan terhadap orang lain dari ras yang berbeda. Adapun rasial adalah pandangan berdasarkan ciri-ciri fisik ras atau suku bangsa, seperti warna kulit atau rambut.

Dalam ragam cakapan, orang yang berperilaku rasial disebut rasis. Ragam bakunya, rasialis. Mungkin masih saudaraan dengan akar kata basis (pembetot bas) atau pianis (pemain piano). Mungkin juga sekeluarga dengan asal pembentukan kata esais (penganggit esai) atau kolumnis (penulis tetap artikel). 

Itu dari sudut muasal kata, ya, bukan dari sisi kecerdasan, keterampilan, dan kemahiran. Jangan dipelintir. Plis!

Apa yang dilakukan oleh Ambroncius memang sangat rasial. Ia benar-benar rasis. Tidak heran jika ia menjadi bulan-bulanan warganet. Malahan banyak warga Batak yang tersinggung akibat kelakuan bobroknya. Kebatakan dan keindonesiaan warganet merasa tersakiti.

Tabiat rasial bukan hanya dalam wujud sikap benci, kekerasan, dan intimidasi, melainkan dapatt pula dalam bentuk ledekan, olok-olokan, cemoohan, atau risakan. Media sosial menjadi wadah unjuk bejat kaum rasialis, lantaran jemari dapat dengan mudah menari di papantik dalam menumpahkan kebobrokan hati.

Apalagi saat ini kita berada di tengah-tengah era budaya sensasi. Nafsu ingin lekas terkenal membuat segelintir orang rajin bikin sensasi. Ingin caper, jalan nyeleneh bin ngawur pun rela ditempuh. Ambroncius hanyalah salah satu sosok pemburu sensasi. Maksud hati pamer taji, ternyata malah promosi ketololan.

Kaum yang sudah terhanyut oleh arus budaya sensasi cenderung kehilangan nalar dan hati. Mereka menjadikan sensasi sebagai salah satu, boleh jadi satu-satunya, parameter ketenaran dan keberhasilan. Begitulah jika otak sudah koplak, tahi kucing pun disangka nastar.

Dampaknya sangat fatal. Lantaran gairah berlebihan untuk menuai retwit dan like, seseorang di Twitter (juga di medsos lain) bisa kehilangan kesalehan sosial. Rasa empati dan simpati tergerus habis. Lambat laun mereka merusak diri sendiri sehingga menderita kedangkalan spiritualitas dan kecetekan humanitas.

***

SEBERMULA dari merasa ras atau golongannya lebih unggul dibandingkan dengan orang dari ras atau golongan lain, seseorang bisa gegar budaya. Akibat merasa suku atau warna kulitnya lebih penting daripada orang dari suku atau dengan warna kulit lain, seseorang bisa terperangkap di labirin kedunguan.

Mengapa seseorang, sadar atau tidak, terjebak dalam perilaku rasial?

Pertama, kehilangan rasa aman dan nyaman. Lantaran merasa rasnya terusik, lantaran merasa golongannya tersudut, jadilah cemooan, risakan, atau olokan-olokan berlatar ras meluncur deras seperti laju motor dengan rem blong.

Kedua, kehabisan empati pada ras atau golongan lain. Orang yang tempurung kepalanya terisi rasialisme hanya dapat berempati kepada ras atau golongannya. Jikalau orang dari ras atau golongan melakukan sesuatu yang tidak pas dengan keinginan kolektif ras atau golongannya, ia mati-matian bertahan dengan cara menyerang ras atau golongan lain.

Ketiga, kekurangan rasa cinta. Orang dengan mulut dan jari yang rasial hanya mencintai apa saja yang berasal dari rasnya. Apabila berhadapan dengan ras berbeda, kemanusiaan dalam dirinya raib entah ke mana. Hatinya dijajah kebencian.

Oleh sebab itu, menjauhlah dari umat "orang dengan kecemasan rasial".

***

TIDAK banyak yang mesti kita lakukan apabila kita ingin terhindar dari tabiat rasial. Kita hanya perlu menempuh tiga jalan.

Pertama, menciptakan rasa aman dan nyaman di mana saja. Hanya karena berada di tengah-tengah ras bukan berarti kita beranggapan bahwa hidup kita sudah tamat. Tidak sekonyol itu, Onde-Onde Penyok. Rasa nyaman dan aman di mana saja, kapan saja, dan dengan siapa saja justru dapat mengantar hati kita ke rumah tenteram. Maka jadilah pencipta rasa nyaman, bukan penyulut rasa benci.

Kedua, merawat empati kepada sesama. Hanya karena kita berbeda agama bukan berarti kita berhak menjadi hakim yang doyan mengadili orang lain sesuka hati. Tidak begitu, Remah Rengginang. Empati kita mesti bertumpu "manusia sebagai manusia". Dengan begitu, kita akan mampu memanusiakan manusia. 

Ketiga, menjaga cinta kepada sesama. Hanya karena kita berbeda warna kulit bukan berarti kita boleh mengejek, menghina, atau merendahkan orang lain. Tidak begitu, Bajigur Asem. Cinta, ya, cinta saja. Jauhkan cintamu dari kotak sempit bernama suku, agama, ras, atau antargolongan. Dunia bukan daun kelor, Sambal Terasi.

***

PADA akhirnya, kita mesti mencabut pohon rasialisme di kepala kita. Cabut hingga ke akar-akarnya. Cabut, mumpung masih tauge. Jangan tunggu hingga pohon rasial di kepala kita memberingin. Jika telanjur tumbuh, tebang! Jangan tunggu hingga pohon rasial itu merimbun dan merumpun.

Kalau kita bisa hidup bergelimang cinta, kenapa mesti memilih hidup berselimut benci?

Salam takzim, Khrisna Pabichara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun