Pemunculan dan penegasan opini sendiri itulah yang kemudian dipertanyakan oleh beberapa pihak. Pada tataran itu, Pandji bersikukuh bahwa semua yang ia sampaikan merupakan kutipan dari pernyataan Tamrin. Pada sisi lain, Pak Tamrin menampik.
Keempat, FPI mempunyai konsep “Kiai Kampung” yang pintu rumahnya terbuka 24 jam untuk umat kelompok miskin kota di perkampungan kumuh miskin Jakarta; sama seperti terbukanya rumah para Kiai NU di pedesaan Jawa dan Kalimantan.
Pandji memang menyatakan apa yang disampaikan oleh Tamrin, yakni pintu rumah Kiai FPI selalu terbuka 24 jam. Ya, Profesor Tamrin memang berkata demikian. Sayangnya, Bos Pandji ternyata memangkas pernyataan Pak Tamrin. Ia tidak mengutip bagian "NU hadir di kawasan pedesaan Jawa dan Kalimantan".
Itu fatal, sebab Pandji membandingkan antara FPI dengan NU dan Muhammadiyah dengan cara memotong bagian penting lain dari pernyatan narasumber. Ia menegaskan bahwa pernyataannya berdasarkan analisis Pak Tamrin, tetapi analisis itu tidak ia sampaikan secara utuh dan menyeluruh.
Tiada berbeda dengan Pandji disuguhi rupa-rupa penganan, tetapi ia hanya menyebutkan penganan yang ia sukai. Selain itu, ia mengambil apa yang ia inginkan dan mengabaikan segala rupa penganan yang tersaji di meja.
Kelima, penggunaan kata “rakyat” dan “elitis” sebaiknya ditanyakan sendiri kepada Saudara Pandji.
Pada pernyataan Pandji di video yang ia sebarkan kepada khalayak, ia kerap menggunakan kata rakyat dan elitis. Sekali lagi, Pandji menyatakan pendapat itu didasari oleh pernyataan Tamrin. Ternyata Profesor Tamrin, secara tersurat, menandaskan bahwa perkara rakyat dan elitis mesti ditanyakan langsung kepada Tuan Pandji.
Jika sudah begitu, merebak praduga di benak khalayak. Dari mana sebenarnya “jauh dari rakyat” dan “elitis” itu muncul? Kalau Profesor Tamrin menampik tidak menyatakan hal tersebut, lalu dari mana Pandji memulung pendapat sedemikian?
Apabila tudingan “elitis” dan “jauh dari rakyat” itu merupakan interpretasi Pandji sendiri, berarti ada potensi cacat tafsir. Kenapa? Profesor Tamrin menolak menggunakan kata "elitis" dan "rakyat". Dengan gamblang beliau menyatakan “silakan tanyakan kepada Saudara Pandji”.
Ini bukan soal NU dan Muhammadiyah tersakiti, melainkan tentang bagaimana Pandji menafsirkan sesuatu dan menggunakan tafsir itu untuk menajamkan dan menguatkan pendapat pribadinya. Adakah agenda tersendiri dan tersembunyi? Entahlah, hanya Pandji dan Tuhan yang tahu hal itu.
Apa pun agenda Pandji, menyatakan NU dan Muhammdiyah "jauh dari rakyat" dan menyebut itu berasal dari Profesor Tamrin merupakan tindakan yang fatal dan berbahaya, sebab dapat menimbulkan kecurigaan kolektif terhadap Profesor Tamrin.
Kelar, Sahabat. Bagaimana dengan kita? Apa yang dapat kita petik dari peristiwa di atas?
Setidaknya ada satu hal, yakni mengutip pendapat orang lain untuk menegaskan pendapat sendiri tidak boleh dilakukan asal-asalan. Selain bisa mencederai kapasitas kecendekiaan diri sendiri dan narasumber, dapat pula menyesatkan pihak lain.
Adapun tulisan ini tidak saya niatkan untuk membongkar kesalahan Pandji, tetapi untuk menyibak tabir polemik sekitaran pembandingan yang dilakukan oleh Pandji. Semacam usaha kecil sahaja untuk menemukan makna berdasarkan persepsi saya sendiri.