Ricuh yang disulut komika tenar, Pandji Pragiwaksono, teryata belum surut. Seperti air, tiba-tiba pasang lagi setelah sosiolog Tamrin Tomagola mengklarifikasi pernyataan yang dinukil oleh sang komika. Warganet sontak riuh lagi.
Melalui akun Twitter @tamrintomagola, sosiolog yang pada 2013 sempat merasakan guyuran air teh oleh petinggi FPI mengudar lima butir alas pikir yang mendasari pernyataannya. Dari lima butir itu terlihat ada indikasi Menir Pandji salah tafsir atau keliru interpretasi.
Kita mulai dari klarifikasi Pak Tamrin. Pada mulanya, beliau menyatakan bahwa klarifikasi tentang Pandji--yang mengutip pertanyaan beliau dalam salah satu tayangan video di kanal Youtube--telah beliau sampaikan kepada Akhmad Sahal.
Selanjutnya, beliau menyerahkan kepada Gus Sahal--sapaan Akhmad Sahal--apakah akan mengagihkan klarifikasi tersebut atau tidak kepada warganet di Twitter. Beliau berupaya menghindari terjadinya konflik kepentingan di media sosial akibat membicarakan FPI. Namun, akhirnya beliau menyampaikan sendiri klarifikasi itu.
Berikut saya sajikan klarifikasi Profesor Tamrin, sekaligus tilikan receh saya terhadap pernyataan Om Pandji di kanal Youtube-nya.
Pertama, konteks pembicaraan saat itu (tahun 2012, red.) adalah membahas kondisi kehidupan kelompok miskin kota di perkampungan kumuh miskin Jakarta.
Bagaimana dengan pernyataan Pandji? Sekalipun mengutip pernyataan Profesor Tamrin, Bung Pandji luput mengutarakan konteks percakapan ketika ia mewawancarai narasumbernya yang kemudian ia kutip. Jadi, ada pengaburan konteks. Akibatnya fatal, karena Pandji tertawan oleh tafsir pribadi yang kemudian ia sebut “saya kutip dari pernyataan sosiolog itu”.
Patut kita camkan, menukil pendapat orang untuk menguatkan argumentasi sendiri tidak bisa dilakukan secara serampangan. Abai pada konteks awal dan menyamakannya dengan konteks terkini dapat disebut membelokkan pendapat orang lain. Sebagai tokoh publik, seyogianya Om Pandji memperhatikan dengan saksama pernyataan narasumber.
Kedua, NU dan Muhammadiyah kurang menyambangi, mendampingi, dan meringankan beban kehidupan umat miskin kota dan perkampungan kumuh miskin Jakarta.
Dalam tayangan video yang disiarkan di kanal Youtube Pandji, ia membabar contoh tentang anak yang gagal masuk sekolah dan warga miskin yang jatuh sakit. Namun, ia tidak menyingkap apa maksud sebenarnya dari pernyataan Profesor Tamrin.
Sekali lagi, Profesor Tamrin membatasi contoh kasus di kawasan kumuh miskin di Jakarta. Hal yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan uraian Pandji, sebab Pandji tidak memberikan watas kawasan. Dampaknya, pemirsa Youtube dan netizen berpotensi menyimpulkan bahwa pendapat Profesor Tamrin tertuju untuk seluruh kawasan di Indonesia. Padahal, tidak begitu.
Ketiga, kekosongan pendampingan itu kemudian diisi oleh FPI.
Pandji tidak menggunakan frasa kekosongan pendampingan sekalipun ia berteguh bahwa apa yang ia sampaikan berasal dari pendapat Tamrin. Jika disisir lebih saksama, kekosongan itu pun harus tetap kita persempit khusus untuk kawasan kumuh miskin di Jakarta. Membawa bingkai itu ke seluruh kawasan di Indonesia menjadikan konteks analisis cenderung bias.
Malahan, kalau kita menyelam lebih dalam, pendapat tentang kekosongan pendampingan itu merupakan masukan berharga bagi NU dan Muhammadiyah. Hanya saja, Pandji kurang lincah menggoreng inti perkara, bahkan memunculkan dan menegaskan opini sendiri tentang NU dan Muhammadiyah "jauh dari rakyat".