Ini Budi. Ini ibu Budi. Ini bapak Budi. Tiga kalimat itu masih tersimpan di bilik ingatan saya. Kalimat yang mula-mula mengajari saya cara mengenali karakter seseorang. Itu Ani dan Budi. Itu Ani. Ani kakak Budi. Tiga kalimat itu masih tertanam di benak saya, bahkan hingga hari ini.
Kalimat sakti mandraguna itu tertera dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Bagi kalian yang duduk di bangku SD pada 1980-an dan 1990-an pasti pernah bersentuhan dengan buku tersebut. Budi anak yang baik. Ia rajin membantu orangtua dan kakaknya.
Selain anak berbakti, Budi juga digambarkan gemar bekerja dan rajin menabung. Ia beternak ayam dan itik. Ia juga menggembala kambing. Jika ternaknya terjual, ia selalu dapat jatah dari orangtuanya. Jatah itu tidak ia gunakan untuk jajan cokelat payung atau permen rokok. Tidak.
Budi rajin menabung di celengan. Nah, celengan ayam juga menjadi legenda yang sohor. Heran juga, celengan kok bentuknya ayam jago. Padahal celengan berakar dari kata celeng, salah satu marga babi. Mestinya berbentuk celeng. Ah, abaikan saja. Itu kelakar belaka.
Lalu, Budi tidak hanya muncul di pelajaran Bahasa Indonesia, lambat laun ia merambah pelajaran berhitung. Jika Budi membeli 2 ekor bebek betina, kemudian masing-masing bebek bertelur 10 biji, hitunglah berapa bebek Budi. Kala itu, saya masih ingat, jawaban saya adalah tetap dua ekor karena 20 anak bebek itu mati semua.
Pak Kamaruddin Daeng Semang, guru saya, hanya menggeleng-geleng saat membaca jawaban saya. Beliau tahu, saya memang seharusnya diberi pilihan ganda saja. Jika dikasih pertanyaan esai, jawaban saya pasti selalu berbeda dengan murid lain.
***
Budi yang ada dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia adalah peninggalan bersejarah karya seorang guru tersohor. Beliau adalah Ibu Siti Rahmani Rauf. Beliaulah yang memperkenalkan saya kepada Budi dan keluarganya.
Beliau menyusun pelajaran Bahasa Indonesia dengan tulus. Honorarium dari penerbit beliau tampik. Tatkala penerbit bersikeras, dilansir kupang.tribunnews.com, beliau minta diberangkatkan ke Tanah Suci saja. Jadilah beliau naik haji. Budi yang menabung, Ibu Siti yang naik haji. Karya yang membahagiakan.
Ketika Ibu Siti menyusun buku ajar Bahasa Indonesia, beliau tidak asal-asalan. Budi dan Ani telah ia pikirkan matang-matang. Dua sosok itu, menurut beliau, dapat diterima oleh seluruh anak di antero Nusantara. Di samping itu, materi ajar sudah beliau sesuaikan dengan metodi Struktur Analitik Sintetik (SAS).
Ibu Siti lahir di Padang pada 5 Juni 1919. Semasa aktif mengajar, dinukil goodnewsfromindonesia.id, beliau pernah menjabat Kepala SD Tanah Abang 5 Jakarta Pusat. Pencipta karakter Budi dan seluruh keluarganya itu mangkat pada 10 Mei 2016 di Tanah Abang.
Beliau sudah lama mangkat, tetapi jejak karyanya masih tertanam kuat di benak saya. Mungkin juga di benak anak-anak lain di Indonesia. Mungkin sahabat saya Budi Susilo, Kompasianer andal, dinamai Budi gara-gara karakter ciptaan Ibu Siti. Mungkin, ya.
***
Tersebutlah pada Februari 2018, ada diskon emas besar-besaran di Antam Surabaya. Celengan ayam jago milik Budi jebol. Itu disengaja. Pada 20 Maret 2018, ia mendatangi PT Antam Surabaya. Bukan untuk beli ayam, itik, atau kambing, melainkan membeli emas batangan yang tengah dapat potongan harga. Emas berton-ton ia beli. Cadas, kan?
Pada hari yang membahagiakan itu (bukan hari yang berbahagia, sebab hari bukan orang yang bisa merasa bahagia), Budi membeli emas seharga Rp530 juta per kilo. Hari itu juga, rekening Budi berkurang hingga Rp10,6 miliar karena ditransfer ke rekening milik PT Antam.
Dua hari kemudian, 22 Maret 2018, Budi membongkar celengan lagi dan kembali mentransfer uang ke rekening Antam. Total uang yang ia transfer mencapai Rp3,5 triliun. Saya ulangi, Rp3,5 triliun. Kawan, mingkem. Jangan kelamaan mangap begitu, takut nanti lalat tersasar ke mulut Anda. Uang triliunan itu untuk membayar 7,07 emas.
Budi yang rajin menabung sejak SD itu ternyata memang tajir. Emas berton-ton ia beli. Emas, ya. Bukan kapuk atau randu. Setelah dihitung-hitung karena harga emas didiskon dengan variasi harga antara Rp505 juta hingga Rp525 juta per kilo, ternyata Budi hanya menerima sebanyak 5,935 ton. Ada selisih yang lumayan besar.
Sekalipun rajin menabung, rela menolong, dan tabah, Budi tidak mau kehilangan emas satu ton. Tepatnya, menurut Budi, sebanyak 1,136 ton. Loh, kehilangan seekor itik saja bisa diomeli ibu atau bapaknya, apalagi kehilangan emas satu ton lebih. Maka pada 16 November 2018 ia mengirim surat kepada pihak PT Antam Pusat.
Syahdan, pihak Antam Pusat menyatakan bahwa mereka tidak pernah menjual emas dengan harga diskon. Budi kalem saja. Karena sejak SD sudah banyak belajar tabah, ia tidak putus asa. Ia bawa persoalan ke meja hijau.
Hasilnya sesuai dengan keinginan Budi. PT Antam Tbk Persero dinyatakan kalah oleh Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Dengan demikian, Antam harus membayar kerugian senilai Rp814,4 miliar atau setara dengan 1,136 ton emas kepada Budi.
Budi ternyata masih harus belajar sabar. Ia masih harus menunggu, sebab Antam berencana melakukan perlawanan hukum. Pihak Antam tidak merasa pernah menjual logam mulia dengan harga diskon.
Fakta yang ada, Budi juga tidak membeli emas di tempat abal-abal karena uang pembelian langsung ditransfer ke rekening Antam. Silakan tilik infografis di bawah ini yang saya cuplik dari akun twitter @detikfinance.
Bayangkan, Budi membeli emas berton-ton. Kalau kita membeli pasir sebanyak itu, kira-kira akan ditumpuk di mana, ya? Gundukannya pasti segunung. Sultan Budi memang susah dilawan. Raffi Ahmad sang Sultan Andarra pasti lewat. Apalagi Sultan Khrisna. Aih, saya tuman!
Namun, jagat media sosial heboh sejenak akibat peristiwa itu. Banyak warganet yang kemudian berangan-angan tanpa juntrungan. Dasar tuman. Ada yang sampai menanyakan apakah Budi sudah dewasa, berkeluarga, dan punya anak gadis? Benar-benar tuman.
Sekarang coba kalian ambil kalkulator. O, tidak. Buka kalkulator di gawai cerdas saja. Kerjakan soal Matematika ini. Budi membeli emas sebanyak 7,07 ton dan hanya menerima 5,93 ton; hitung selisihnya. Sudah? Ah, kalian lambat. Hasilnya 1,14 menurut hitung-hitungan netizen.
Masalahnya, Budi hanya menuntut 1,136 ton. Sisanya ke mana? Emas sebanyak 0,004 ton itu tidak sedikit. Netizen serempak menjawab: dibawa oleh Ibu Budi. Romantisisme pelajaran SD kembali mencuat ke permukaan. Memori kolektif seketika tersibak.
O ya, Kawan, nama lengkap Budi yang menang melawan Antam itu adalah Budi Said. Beliau itu saudagar properti di Surabaya. Jadi, sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Budi dalam teks pelajaran Bahasa Indonesia. Apalagi dengan sahabat Budi Susilo yang Kompasianer itu.
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H