Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Tubuh Kami Tidak Boleh Kehabisan Tabah

19 Januari 2021   22:55 Diperbarui: 20 Januari 2021   00:10 830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lelaki tua yang tersenyum karena punya banyak persediaan tabah (Gambar: kompas.com)

 

07.00 WIB

Selamat pagi, Diari. Terima kasih masih setia mendengarkan keluhku, menyimpan resahku, dan meredam perihku. Seorang temanku, lebih tepatnya guruku, bilang bahwa bercakap-cakap dengan kamu adalah laku melankolis yang cengeng. Tidak apa-apa, ya, Diari. Teman mengaum, aku berlalu. Guru mengguruh, murid menyanyi.

Temanku itu, Diari, sebenarnya tahu apa arti diari. Ia jelas mengerti bahwa menumpahkan unek-unek adalah jalan lapang untuk melegakan hati. Ia jelas paham bahwa menulis adalah laku intelektual guna mengabadikan sesuatu yang, barangkali, dianggap remeh-temeh oleh orang lain, tetapi suatu saat akan menjelma sebagai riwayat. Bahkan, boleh jadi sejarah.

Tenang saja, Diari. Kamu tidak perlu sewot. Temanku itu juga diam-diam menulis catatan harian: tentang padi yang diterjang hama, tentang kemarau yang memburu hujan pertama, tentang pupuk yang tiba-tiba langka, tentang pasar yang sering sekali tidak berpihak kepada petani. Ia cuma berselimut gengsi dan berseragam tinggi hati. Maka, Diari, biarkan saja dia menyebutku cengeng.

Guruku itu, Diari, sebenarnya khatam banget dalam perkara penyembuhan lewat terapi menulis. Ia tahu sekali bahwa jika seseorang ingin menghapus kesedihan di hati, tuangkan tabah ke dalam tulisan. Itu metode praksis yang sangat jitu. Maka, Diari, abaikan kata "jijik" atau "jijay" yang beliau guratkan dalam esai cemen-nya. 

Temanku tahu, Diari, alangkah banyak catatan harian seseorang yang akhirnya menyejarah. Tidak perlu saya ingatkan beliau catatan harian apa saja yang kemudian terbukti menyejarah. Beliau punya kapasitas tahu yang lebih dari sekadar memadai. 

Jadi, Diari, tabahlah karena tabah adalah angin tunak. Tidak terasa desaunya, tetapi ada. Sesekali bertiup sepoi-sepoi, tetapi dapat menghapus sakit dan sedih sepanjang hidup. Tabah, Diari, obat mujarab bagi segala jenis nelangsa. Tabah, Diari, menyimpan dan menyembuhkan kesakitan.

Pelukan ini menenangkan (Ilustrasi: id.wikihow.com)
Pelukan ini menenangkan (Ilustrasi: id.wikihow.com)
Kamu pasti mengenal teman sekaligus guruku itu, Diari. Jadi, biarkan aku tidak menyebut namanya. Aku iba hati kepada beliau jikalau namanya terekam dalam catatanku hari ini. Judul artikelnya juga tidak usah saya cantumkan, ya? Biarlah kita tahu sama tahu saja. Bagaimana, Diari? Aih, terima kasih karena kamu bisa mengerti.

15.05 WIB

Diari, aku ingin ceritakan kepadamu tentang pepuja hatiku yang sekarang tengah dirundung malang. Di telaga matanya kini menggenang air yang selalu saja menghangatkan pipi acapkali menetes. Kemarin kami sama-sama sakit. Ia lunglai, aku layu. Ia sesak napas, aku susah makan. Ia tidak mampu mencium bau, aku tidak sanggup mencecap rasa. Ia sakit, aku sakit. Kami begitu kompak, bahkan saat sakit.

Namun, Diari, tubuh kami punya tabah yang mujarab mengobati luka karena harapan semu. Sepatah dan separah apa pun. Dengan hati yang tabah, kami bisa mengucapkan "Selamat jalan, Luka!" Ketika orang lain menceracau tentang virus yang disangka konspirasi belaka, kami tertawa saja. Ketika orang lain kian remeh dan abai, kami gigihkan rasa waspada. Tak dinyana, Diari, justru kami yang terkapar.

Adakah kami mengutuk kenyataan? Sama sekali tidak, Diari. Sakit bagi kami adalah pintu antik untuk memasuki rumah syukur. Dalam rumah syukur itu kami tahu betapa teduh bilik sehat. Itu sebabnya, Diari, kami rawat tabah sesulit dan sepelik apa pun.

Di luar sana banyak orang berteriak "kami tabah", tetapi hati mereka berdarah-darah. Banyak lelaki yang mengaku tabah, tetapi bantalnya basah oleh air mata. Banyak perempuan yang mendaku tabah, tetapi air matanya lebih deras dari hujan lebat. Tabah, Diari, hanya mudah diucapkan!

Tolong, Diari, jauhkan bagian ini dari teman sekaligus guruku itu. Plis, ya!

Biarkan kami bertukar tabah hingga tubuh kami renta (Gambar: kompas.com)
Biarkan kami bertukar tabah hingga tubuh kami renta (Gambar: kompas.com)
16.42 WIB

Tubuh kami tidak boleh letih merawat tabah, Diari. Tubuh kami tidak boleh kehabisan tabah, Diari. Kami menghadapi banyak kejadian yang menyita perasaan. Perbedaan pandangan, selera, dan kegemaran sewaktu-waktu memicu perdebatan. Belum lagi silang pikiran dan perasaan. Itu sebabnya tabah kami sebut sebagai pekerjaan yang tidak selesai-selesai.

Kita rawat tabah di sepanjang jalan cinta, Diari, jalan yang tak mengenal awal dan akhir. Meskipun kami sadar, tidak ada tabah yang tidak dihantui cemas dan khawatir.

Hari ini, misalnya, ketika mata kami dimanjakan matahari terbenam, ketika berhari-hari tubuh kami kusut akibat sakit berlarut-larut, aku tanyakan sesuatu kepadanya. "Jika tabah cuma bisa menenangkan hati, bagaimana bisa ia menyembuhkan luka?"

Ia tidak menjawab, Diari. Hanya desah napasnya yang tertangkap oleh kuping lelahku. Ia malah bertanya alih-alih menjawab pertanyaanku. "Siapa sebenarnya yang mati jika salah satu di antara kita duluan meninggal?" Aku terperenyak. Ia kembali bertanya, "Apa yang wafat memang mati karena meninggalkan atau yang hidup malah mati karena ditinggalkan?"

Aku tidak tahu harus menjawab apa, Diari. Kata-kata seketika raib dari kepalaku. Perasaan memang sulit digambarkan, sebab daya kata memiliki keterbatasan untuk melakukannya. Termasuk dalam melukiskan hakikat ketabahan. Meski begitu, kami bertukar pelukan. Seakan-akan lewat pelukan itulah kami dapati tabah yang utuh.

Bersama tabah, kami lebih mudah memahami, mengobati, dan menikmati rasa sakit.

Sebagaimana hidup di dunia dan kehidupan abadi nanti, perjalanan cinta juga butuh banyak bekal. Tabah itu sesuatu yang niscaya. Ia melahirkan permaafan dan ketulusan, sekaligus memastikan kejujuran dan kesetiaan.

Sekali lagi, Diari, perjalanan cinta menuntut banyak bekal. Itu niscaya karena cinta adalah kembara hati yang abadi. Adapun bekal terbaik bagi cinta adalah ketabahan hati. Seberapa banyak bekal tabah di tubuh kami? Seberapa lama tubuh kami sanggup merawat tabah?

Lelaki tua yang tersenyum karena punya banyak persediaan tabah (Gambar: kompas.com)
Lelaki tua yang tersenyum karena punya banyak persediaan tabah (Gambar: kompas.com)
17.00 WIB

Teman sekaligus guruku, Diari, muncul lagi di depanku. Ia menari-nari di dalam benakku. Ia mainkan instrumentalia emosi. Ia berkata bahwa beliau masih sama: menganggap siapa saja yang bercengkerama denganmu adalah penulis yang cengeng.

Temanku itu, Diari, sebenarnya tahu bahwa setiap perindu pasti tahu pentingnya tabah. Hanya satu hal yang nyata-nyata beliau butuhkan dalam pertautan harapan dan kenyataan. Tabah. Persis seperti kita. Asal kita tabah, Diari, takada yang dapat menyakiti atau melukai kita. Sekalipun itu dengan cerca "jijay".

Tenang saja, Diari. Selama kita tabah, guruku itu takkan mampu menjauhkan atau memisahkan kita.

Malahan, kitalah yang mesti memancangkan tanda tanya. Seberapa tabah hatinya merawat klausa najis menulis diari? Tubuhku dan tubuh pepuja hatiku tidak akan kehilangan tabah. Itu pasti. Hari ini begitu, besok masih begitu.

Bagaimana dengan tubuh guruku? Akankah tubuh beliau tangguh merawat tabah dalam memusuhimu, Diari?

Maka dari itu, Diari, mari kita serukan: Wahai Penulis Diari atau Catatan Harian di antero dunia, bersatulah!

Pemujarindu, 18 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun