Di luar sana banyak orang berteriak "kami tabah", tetapi hati mereka berdarah-darah. Banyak lelaki yang mengaku tabah, tetapi bantalnya basah oleh air mata. Banyak perempuan yang mendaku tabah, tetapi air matanya lebih deras dari hujan lebat. Tabah, Diari, hanya mudah diucapkan!
Tolong, Diari, jauhkan bagian ini dari teman sekaligus guruku itu. Plis, ya!
Tubuh kami tidak boleh letih merawat tabah, Diari. Tubuh kami tidak boleh kehabisan tabah, Diari. Kami menghadapi banyak kejadian yang menyita perasaan. Perbedaan pandangan, selera, dan kegemaran sewaktu-waktu memicu perdebatan. Belum lagi silang pikiran dan perasaan. Itu sebabnya tabah kami sebut sebagai pekerjaan yang tidak selesai-selesai.
Kita rawat tabah di sepanjang jalan cinta, Diari, jalan yang tak mengenal awal dan akhir. Meskipun kami sadar, tidak ada tabah yang tidak dihantui cemas dan khawatir.
Hari ini, misalnya, ketika mata kami dimanjakan matahari terbenam, ketika berhari-hari tubuh kami kusut akibat sakit berlarut-larut, aku tanyakan sesuatu kepadanya. "Jika tabah cuma bisa menenangkan hati, bagaimana bisa ia menyembuhkan luka?"
Ia tidak menjawab, Diari. Hanya desah napasnya yang tertangkap oleh kuping lelahku. Ia malah bertanya alih-alih menjawab pertanyaanku. "Siapa sebenarnya yang mati jika salah satu di antara kita duluan meninggal?" Aku terperenyak. Ia kembali bertanya, "Apa yang wafat memang mati karena meninggalkan atau yang hidup malah mati karena ditinggalkan?"
Aku tidak tahu harus menjawab apa, Diari. Kata-kata seketika raib dari kepalaku. Perasaan memang sulit digambarkan, sebab daya kata memiliki keterbatasan untuk melakukannya. Termasuk dalam melukiskan hakikat ketabahan. Meski begitu, kami bertukar pelukan. Seakan-akan lewat pelukan itulah kami dapati tabah yang utuh.
Bersama tabah, kami lebih mudah memahami, mengobati, dan menikmati rasa sakit.
Sebagaimana hidup di dunia dan kehidupan abadi nanti, perjalanan cinta juga butuh banyak bekal. Tabah itu sesuatu yang niscaya. Ia melahirkan permaafan dan ketulusan, sekaligus memastikan kejujuran dan kesetiaan.
Sekali lagi, Diari, perjalanan cinta menuntut banyak bekal. Itu niscaya karena cinta adalah kembara hati yang abadi. Adapun bekal terbaik bagi cinta adalah ketabahan hati. Seberapa banyak bekal tabah di tubuh kami? Seberapa lama tubuh kami sanggup merawat tabah?
Teman sekaligus guruku, Diari, muncul lagi di depanku. Ia menari-nari di dalam benakku. Ia mainkan instrumentalia emosi. Ia berkata bahwa beliau masih sama: menganggap siapa saja yang bercengkerama denganmu adalah penulis yang cengeng.
Temanku itu, Diari, sebenarnya tahu bahwa setiap perindu pasti tahu pentingnya tabah. Hanya satu hal yang nyata-nyata beliau butuhkan dalam pertautan harapan dan kenyataan. Tabah. Persis seperti kita. Asal kita tabah, Diari, takada yang dapat menyakiti atau melukai kita. Sekalipun itu dengan cerca "jijay".