Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Hari Pertama 2021, Jangan Malu Jadi Penulis

1 Januari 2021   05:00 Diperbarui: 2 Januari 2021   07:18 1386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya menulis untuk mencari uang. Itu tujuan utama. Dengan kata lain, menulis adalah jalan yang saya pilih untuk menafkahi diri dan keluarga. Apakah cukup? Kalau soal cukup tidak cukup, ya, dicukup-cukupi sajalah.

Ketika saya menulis artikel di blog, termasuk Kompasiana, tujuan saya jelas mencari uang. Tentu bukan K-Rewards bidikan pokok saya, melainkan efek domino dari artikel yang saya pajang. Oh, bisa begitu? Jelas bisa. Kata siapa tidak bisa?

Ambil contoh artikel tentang tata cara menulis surat dinas. Gara-gara menulis artikel demikian, saya sudah berkali-kali diminta menjadi narasumber atau mentor dalam pelatihan yang digelar oleh kementerian atau lembaga tertentu. Ujung-ujungnya duit.

Apakah mendapatkan uang atau penghasilan tabu bagi penulis? Tentu saja tidak. Lo, penulis itu sama saja dengan profesi lain. Sama-sama bekerja keras, sama-sama membayar pajak, sama-sama menebar faedah.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Di sinilah titik masalahnya. Setahun lalu, 26 Desember 2020, artikel saya yang berjudul Jangan Mau Jadi Penulis menuai banyak cibiran. Sebagian karena kurang telaten mengunyah gagasan hingga akhir tulisan, sebagian karena menilai saya bermuka dua.

Bermuka dua? Ya. Bagaimana tidak, apa coba nama yang tepat bagi seorang penulis yang ngeyel meminta orang lain agar tidak mau menjadi penulis selain bermuka dua? Padahal, tidak begitu. Dalam artikel tersebut saya babarkan alasan mengapa profesi penulis di Indonesia sangat tidak menjanjikan. Selain itu, saya juga membeberkan jurus jitu jika ngotot menjadi penulis.

Saya tidak merasa bersalah apa-apa, tetapi saya merasa perlu menganggit artikel lanjutannya. Inilah hasilnya. Lewat artikel ini akan saya bentangkan argumen mengapa saya masih bertahan hidup, sampai awal tahun ini, sebagai seorang penulis.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Pertama, saya tekuni dunia kepenulisan. Saya mulai terjun ke dunia tulis-menulis pada 1997. Tidak langsung menerbitkan buku. Pada mulanya saya hanya pemindai aksara alias proofreader. Pekerjaan saya memeriksa saltik, tanda baca yang keliru, atau kalimat janggal. Mulai 2004, saya loncat pagar menjadi penyunting. Nanti tahun 2007 barulah buku pertama saya terbit.

Kedua, saya pelajari semua jenis tulisan. Pada rentang 2007--2010 saya getol mengirim tulisan ke media massa. Puisi, cerpen, dan artikel. Jadi, bukan cuma puisi. Apakah saya mengejar manfaat ketenaran? Ya. Namun, honorariumlah sasaran utama saya.

Buku yang saya sunting sudah mencapai ratusan. Meskipun belajar menyunting secara mandiri, saya bisa mempertanggungjawabkan hasil suntingan saya. O ya, saya pernah dibayar ratusan juta untuk mengedit sebuah novel. Itu terjadi tahun 2012. Ada juga yang tidak dibayar sepeser jua sekalipun buku editan saya itu empat kali naik cetak.

Bagaimana dengan royalti buku anggitan sendiri? Saya bersyukur karena beberapa buku saya masuk jajaran buku laris. Kamus Nama Indah Islami, misalnya, sempat beberapa tahun berkibar di antara buku sejenisnya lantaran memuat rahasia meracik nama yang indah.

Sebelum terjun ke dunia fiksi, saya lebih dulu menceburkan diri ke samudra buku nonfiksi. Puluhan buku nonfiksi telah saya gubah, di antaranya, Rahasia Melatih Daya Ingat. 

Kover depan |Dokumentasi Pribadi
Kover depan |Dokumentasi Pribadi

Kumpulan cerpen pertama saya, Mengawini Ibu, pun beberapa kali naik cetak. Laris. Begitu juga dengan novel pertama saya, Sepatu Dahlan. Berapa jumlah royaltinya? Rahasia dapur. Itu masa lalu. Maksud saya, belakangan ini royalti dari dua buku itu sudah tidak ada.

Kover depan |Dokumentasi Pribadi
Kover depan |Dokumentasi Pribadi
Akan tetapi, royalti hanya saya terima saban enam bulan. Selama jeda enam bulan sebelum dapat royalti, ya, mesti pintar-pintar mengelola uang. Kadang lebih, kadang sekarat. Guna menyiasati masa paceklik, saya mengembangkan kecakapan diri. Apa saja?

Silakan tilik infografis di bawah ini.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Pertama, menjadi pembicara. Tentu saja materi yang paling saya gemari adalah pernak-pernik penulisan dan perbukuan. Selain itu, saya juga bisa berbicara tentang komunikasi publik serta kampanye untuk penjenamaan perusahaan.

Kedua, menjadi trainer. Nah, artikel yang saya tayangkan di Kompasiana di antaranya menyasar pasar pelatihan. Spesialisasi saya, kebahasaan. Misalnya menyusun laporan tahunan, menyusun materi promosi, menata surat dinas, dan mengembangkan keterampilan berkomunikasi.

Ketiga, menjadi motivator. Selain menyemangati diri sendiri, saya juga gandrung memotivasi orang lain. Metode yang saya gunakan mirip-miriplah dengan orang lain. Perbedaannya hanya pada cara penyampaian.

Keempat, menjadi mentor. Beberapa pesohor yang meminta saya menjadi "penulis bayangan" akhirnya mengalah. Biasanya saya tampik permintaan seperti itu. Saya memilih menjadi teman menulis sehingga klien mampu merampungkan bukunya, alih-alih menuliskan sesuatu yang kemudian disebut sebagai karya klien. 

Sekalipun Anda tidak mampu menjadi pembicara atau trainer, tidak usah berkecil hati. Cukup tulis tiga hingga lima buku dalam setahun. Kalau mampu. Dengan begitu, perputaran royalti dari buku-buku itu mencukupi karena bisa setara dengan UMR jika dihitung per bulan.

Bagaimana kalau tidak sanggup juga menulis banyak buku? Boleh jadi pula menulis banyak buku, tetapi yang laku cuma satu buku. Mengeluh melulu. Sudahlah, menulis saja. Terlalu banyak tanya dapat mengantar Anda pada terminal cemas. Unjuk gigih dulu baru unjuk gigi, Sobat.

Dokumen Olah Pribadi
Dokumen Olah Pribadi
Maka dari itu, jangan malu menjadi penulis. Tegakkan tekadmu, tegakkan penamu!

Salam takzim, Khrisna Pabichara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun