Saya menulis untuk mencari uang. Itu tujuan utama. Dengan kata lain, menulis adalah jalan yang saya pilih untuk menafkahi diri dan keluarga. Apakah cukup? Kalau soal cukup tidak cukup, ya, dicukup-cukupi sajalah.
Ketika saya menulis artikel di blog, termasuk Kompasiana, tujuan saya jelas mencari uang. Tentu bukan K-Rewards bidikan pokok saya, melainkan efek domino dari artikel yang saya pajang. Oh, bisa begitu? Jelas bisa. Kata siapa tidak bisa?
Ambil contoh artikel tentang tata cara menulis surat dinas. Gara-gara menulis artikel demikian, saya sudah berkali-kali diminta menjadi narasumber atau mentor dalam pelatihan yang digelar oleh kementerian atau lembaga tertentu. Ujung-ujungnya duit.
Apakah mendapatkan uang atau penghasilan tabu bagi penulis? Tentu saja tidak. Lo, penulis itu sama saja dengan profesi lain. Sama-sama bekerja keras, sama-sama membayar pajak, sama-sama menebar faedah.
Bermuka dua? Ya. Bagaimana tidak, apa coba nama yang tepat bagi seorang penulis yang ngeyel meminta orang lain agar tidak mau menjadi penulis selain bermuka dua? Padahal, tidak begitu. Dalam artikel tersebut saya babarkan alasan mengapa profesi penulis di Indonesia sangat tidak menjanjikan. Selain itu, saya juga membeberkan jurus jitu jika ngotot menjadi penulis.
Saya tidak merasa bersalah apa-apa, tetapi saya merasa perlu menganggit artikel lanjutannya. Inilah hasilnya. Lewat artikel ini akan saya bentangkan argumen mengapa saya masih bertahan hidup, sampai awal tahun ini, sebagai seorang penulis.
Kedua, saya pelajari semua jenis tulisan. Pada rentang 2007--2010 saya getol mengirim tulisan ke media massa. Puisi, cerpen, dan artikel. Jadi, bukan cuma puisi. Apakah saya mengejar manfaat ketenaran? Ya. Namun, honorariumlah sasaran utama saya.
Buku yang saya sunting sudah mencapai ratusan. Meskipun belajar menyunting secara mandiri, saya bisa mempertanggungjawabkan hasil suntingan saya. O ya, saya pernah dibayar ratusan juta untuk mengedit sebuah novel. Itu terjadi tahun 2012. Ada juga yang tidak dibayar sepeser jua sekalipun buku editan saya itu empat kali naik cetak.
Bagaimana dengan royalti buku anggitan sendiri? Saya bersyukur karena beberapa buku saya masuk jajaran buku laris. Kamus Nama Indah Islami, misalnya, sempat beberapa tahun berkibar di antara buku sejenisnya lantaran memuat rahasia meracik nama yang indah.