Gunakan sistem angsuran atau cicilan. Paragraf pertama menggambarkan ciri rambut, paragraf kedua tentang cara berjalan, paragraf ketiga soal ekspresi ketika marah. Itu sekadar contoh.
Masih berhubungan dengan cara, satu tokoh tidak boleh serupa dengan tokoh lain dalam satu cerita. Mengapa demikian?Â
Tidak ada manusia yang benar-benar serupa. Anak kembar identik saja pasti memiliki perbedaan, baik pada perilaku maupun pada ciri fisik. Dengan demikian, cara berbicara ketika menyusun dialog pun tidaklah sama.
Logikanya begini. Dalam kehidupan sehari-hari ada orang yang selalu menggunakan kata "aku" saat menyatakan dirinya, tetapi ada juga yang memilih "saya" atau "gue". Sesekali yang biasa berkata "saya" dan "gue" mungkin saja mengatakan "aku". Begitulah hidup. Tidak statis, tidak monoton. Tokoh yang kita ciptakan pun tidak bisa terhindar dari kejadian demikian.
Soal plot atau alur kita boleh leluasa bersandar intuisi dan serendipitas, meminjam istilah Engkong Felix, dalam hal penokohan kita mesti punya peta pikiran atau peta konsep yang jelas. Kalau tidak, potensi tumpang tindih karakter antartokoh sangat besar terjadi.
Bagaimanakah taktik memerinci karakter tokoh? Silakan bertanya pada teman Kompasianer yang mengikuti Kelas Menulis Nonfiksi yang digelar oleh Kompasianer Penulis Berbalas (KPB) bersama saya di ruang kelas virtual Grup WA. Hehehe....
Bagaimana dengan pertanyaan pada judul tulisan ini? Apakah benar tokoh jahat dalam satu cerita harus selalu jahat hingga cerita tamat? Saya percaya bahwa kalian pasti mampu menjawab pertanyaan itu.
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H