"Aku tidak pernah melihat lelaki di kota ini memakai jas berkancing perak seperti ini," kata Binar.
"Kamu sebenarnya ingin tahu mengapa kancing itu ada di sini. Bukan punya siapa, kan?"
Empat dialog di atas dibangun dari kesadaran bahwa dialog adalah sajian fakta yang digunakan oleh pencerita untuk mempertegas alur. Properti berupa kancing yang ditemukan dan dipegang oleh Binar jelas bukan pemanis dialog belaka.
Mari kita sigi. Fakta:Â ada kancing perak yang entah bagaimana caranya tahu-tahu berada di tangan Binar. Konflik:Â kenapa dan bagaimana kancing itu ada di sana. Alur:Â mengarah pada siapa si pemilik kancing. Tiga komponen itu saja sudah membuat dialog memikat.
Selain itu, dialog harus mampu mengatrol reaksi cemas, takut, sedih, atau bahagia di hati pembaca. Ambil contoh petikan dialog di bawah ini.
Dia berkata sambil berjalan pelan ke arahku. "Kamu tidak akan berhasil." Dia berhenti. Jaraknya semeter saja di depanku. Dalam sekali lompat ia bisa mencekik leherku. "Kamu tidak boleh menguasai warisan Ayah." Ia mendesis. Matanya, es batu. Bulu tengkukku berdiri. Tenggorokanku tercekik. "Kamu akan mati di tanganku, setelah kehabisan cara untuk meminta maaf!"
Sekarang silakan Anda cek bagaimana Anda membangun dialog? Tentu Anda bisa mengukurnya. Sastra itu ilmu. Ia bisa ditakar, diukur, dan diajarkan. Kita bisa menakar, mengukur, dan mempelajarinya. Jika kita mau, itu saja syaratnya.
Silakan bertanya lagi. Bagaimana cara saya meletakkan atribut? Jika Anda selalu menaruh keterangan di belakang dialog, Anda sedang menjalani rutinitas yang membosankan. Silakan bereksperimen. Ayo pindah tempat, jangan main di situ melulu.
Jika dialog Anda tumpul, biasa saja, dan bergerak lamban, Anda tidak usah heran kalau cerita Anda ditinggalkan dan ditanggalkan oleh pembaca. Kalaupun pembaca terpaksa menuntaskan pembacaan, boleh jadi tidak meninggalkan kesan apa-apa.