Lema sembuh. Matanya bukan kawanan awan yang redup lagi. Matanya sekarang matahari pagi yang bersinar cerah sekali. Matanya menyala. Matanya matahari.
Namun, ada yang berbeda setelah tubuh Lema pulih. Setiap berbicara ia selalu membawa-bawa hantu. Kamu dihantui masa lalu, katanya ketika pilu di mataku berenang riang di permukaan kopi. Aku tersentak. Ya, aku kaget sekali.
Kepergiannya sudah lama, tetapi masih menghantui pikiranmu. Lema betul-betul menelanjangi batok kepalaku. Bukan karena dirundung ingatan pada masa lalu dan kepergiannya yang terus mengangakan luka, bukan. Hantu. Itu yang bikin sesak hati.
Apa sebab Lema terus berurusan dengan hantu? Tunggu, Kawan. Hantu bukan sekadar tetek bengek makhluk mengerikan yang nirbentuk. Bukan. Lema sedang berurusan dengan hantu yang tumbuh di tengah budaya masyarakat urban dan rural.
Kamu ingat Foley? Pertanyaan menggelikan. Lema sungguh tidak tertebak. Berkali-kali bergumam soal hantu, mendadak ia membawa-bawa nama penganjur etnolinguistik atau linguistik antropologis. Entah apa hubungan Foley dengan hantu.
Foley beternak hantu? Tanyaku dengan tatapan menyelidik. Lema tertawa. Terbahak-bahak. Terkakak-kakak. Lalu, sambil mencondongkan kepalanya kepadaku, sambil menjulurkan leher sehingga benakku membayangkan leher angsa, ia mendesis. Dasar bebal, katanya.Â
Bahwa hantu ada hubungannya dengan budaya, aku paham. Hanya saja, apa guna pagi-pagi membahas hantu?
Sembuh-sembuh malah main teka-teki. Aku pikir Lema lebih baik merumuk di bawah selimut. Memeluk lutut sambil menceracau. Menahan gigil sambil menggenggam erat jemariku. Menahan cemas seraya menyuruhku meraba keningnya.
Ah, kenapa aku malah berharap Lema sakit lagi? Aku-aku juga nanti yang repot. Membeli bubur setiap pagi. Memisahkan kuning dengan putih dari sebiji telur. Mengaduk kerupuk hingga selembek dan selembut bubur. Mencacah sate hingga membentuk repihan hati. Rggghhh!
Kata-kataku menghantuimu, ucap Lema dengan mata berkilat-kilat. Cobalah lebih rajin berkelana di kepala Campbell, kata Lema lagi. Masih dengan mata yang berkilat-kilat. Seperti mata bocah lelaki yang sangat riang melihat bocah perempuan kesayangannya.
Campbell? Oh. Aku menepuk jidat. Setelah gagal menemukan jembatan penghubung dari hantu ke arah Foley, Lema menyebut sosiolog Campbell. Hahaha. Gantian aku yang tertawa. Keras sekali. Langit duka bergetar karena didentur-dentur oleh gelombang sukacita.
Hantu dan kekaguman atas alam semesta? Ya. Hantu hadir sebagai wujud ketakjuban manusia akan kuasa Ilahi. Ada alam gaib, ada alam nyata. Ada yang terlihat, ada yang tak kasamata. Siapa yang pernah melihat hantu suluh? Tidak ada. Sama seperti kita tidak pernah melihat hantu air.
Kedua, kata Lema seolah-olah bisa menebak sesuatu yang tengah kupikirkan, fungsi kosmologis. Aku paham. Semasa kecil di Makassar, aku sering mendengar penjelasan orang-orang tua tentang filosofi rumah panggung. Itu berkaitan dengan tiga alam, sebagaimana rumah dengan tiga tingkatan.
Kolong sama dengan alam bawah tempat orang-orang yang telah mangkat meneruskan hidup. Ruang tengah seperti alam tengah yang ditempati manusia, hewan, dan tumbuhan. Pammakkang (langkan) sebagai alam atas tempat Yang Mahatahu mengatur alam semesta.
Ketiga, fungsi sosilogis. Dahulu kala, berdasarkan Lontarak yang pernah kubaca, hantu diciptakan oleh para leluhur untuk menjaga alam. Hantu alas agar kita tidak sembarangan masuk hutan dan merusak isinya. Hantu api agar kita tidak serampangan membakar sesuatu yang dapat membahayakan alam.
Betul, seru Lema sambil bertepuk tangan. Beringin tumbuh rimbun karena orang-orang dulu percaya bahwa di sanalah hantu membangun kerajaan. Beringin dibiarkan, sumber air terjaga. Sekarang tidak. Beringin ditebang sesuka hati. Sumber mata air sukar ditemukan, sebab alat peresap tinggal nama.
Keempat, fungsi pedagogis. Sebagai yang dilengkapi Tuhan dengan akal budi, manusia memang kerap merasa lebih tinggi dibanding makhluk lainnya. Tidak heran jika manusia kerap pinjam nama setan dan sanak saudaranya.
Lahirlah anggaran siluman, biaya siluman, dan uang siluman. Kembar tiga yang sama-sama sulit ditakar dan dipertanggungjawabkan. Ada pula dana siluman dan tangan siluman. Dua-duanya berarti tindakan jahat yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Suap-menyuap, misalnya.
Kamu betul, teriak Lema begitu girang. Senang benar rupanya. Berseri-seri mukanya. Ia bawa aku pada pemikiran tentang hantu.Â
Pada barisan hantu profan berdirilah bajang, begu, demit, dedemit, drakula, hantu angin, hantu denah, iblis, jin, kuyang, pejajaran, setan, dan lain-lain. Pada jajaran hantu sakral tegaklah aru-aru, balung, hantu air, hantu api, hantu jembalang, peri, puaka, dan lain-lain.
Oleh sebab itu, Kawan, hantu menjadi instrumen untuk menyampaikan ide, pikiran, dan aktivitas mental manusia. Manusia menciptakan hantu di kepalanya sehingga hadir citra sesuatu atau hal yang tidak mengenakkan, memicu perasaan tidak nyaman, melecut rasa takut, bahkan menyatakan harapan.
Rasa takut dan harapan bertemu jalan pintas menuju kaya akhirnya merangsang manusia melakukan hal-hal aneh dan ganjil. Bersekutu dengan setan. Bertapa di bawah tangkal pohon purba. Memelihara babi yang bisa mengepet. Bergandengan dengan dukun untuk meramal masa depan.
Lema membiarkan aku termenung sendirian. Hantu di matanya pindah ke dalam kepalaku.Â
Takut pada hantu? Hahaha. Tidaklah. Aku hanya takut ditinggalkan olehmu. Bagiku, melihat punggungmu pelan-pelan menjauh laksana melihat hantu paling mengerikan.
Salam Bulan Bahasa, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H