Meski begitu, saya juga makmum filsafat mana tahan. Melihat orang menatap saya dengan mulut terbabang lebar-lebar, lidah saya gatal-gatal. Maka mulailah terlontar ketakpercayaan saya kepada Pemerintah dalam hal menjaga protokol kesehatan sebelum, selama, dan setelah pilkada. Pemerintah gagap, Paslon ngoyo, masyarakat ngeyel. Terang saja korona senang.
Lihat, kata saya, belum apa-apa paslon sudah melanggar. Deklarasi Paslon Benar (Besut-Onar)Â di Lapangan Ikada (Ini Kota Sukaduka) penuh kerumunan massa. Paslon Yakin (Yakan Saja-Kisanak)Â malah pesan dangdutan sehingga warga mabuk kepayang berjoget hingga petang. Polisi? Berjoget juga alih-alih membubarkan kerumunan.
Mata Amin seperti ingin meloncat ke luar dari pelupuk, mulutnya melebar seperti ingin membantah, tetapi saya enggan memberikan podium. Saya ungkap juga perkara keteladanan. Selaku putra seorang Petahana, Besut Angan Wardana mestinya memberi contoh. Ternyata tidak.
Calon wakilnya juga begitu, kata saya lagi. Dinasti Onar, putra sulung seorang diplomat ulung, setali tiga uang dengan Besut. Beberapa kali kedapatan Bawaslu menggelar Temu Tatap di gedung-gedung megah. Aturan menjaga jarak dilanggar, apalagi memakai masker. Protokol Kesehatan? Omong kosong jadinya karena dilanggar melulu.
Iman, Amin, Imun, dan Muin mulai terlihat jengah. Saya masa bodoh, mereka mana tahan. Bicaralah berdasarkan data. Saya paham adagium itu. Saya bentangkan data tentang 45% warga dukuh yang meminta pilkada ditunda, 30% yang ragu-ragu, 20% yang berharap diteruskan, dan 5% yang abstain.
Nanti saya yang bayar, Kang Mamat. Perantau dari Kabupaten Tahu Gurih itu mengangguk walau kilat ragu sempat membersit di matanya. Bukan apa-apa. Kasbon saya sudah menumpuk. Tetapi, beliau memang saudagar kopi yang budiman. Beliau tahu motivator gretongan ini sedang sepi order.
Kang Mamat duduk di depan saya. Pelan-pelan ia berkata, "Saya mau bikin akun fesbuk, Daeng, tapi menyamar. Ndak pakai nama asli." Ia berhenti sejenak sambil menarik napas. "Saya mau membantah empat makhluk itu di Grup Sukaduka Berpolitik. Bisa kasih nama samaran?"
Mata saya berkilat-kilat. Permintaan Kang Mamat kontan saya penuhi.Â
Pertama, kata saya, Rivalitas Etikana. Panggilannya Rival. Artinya lawan. Apa pun status atau unggahan Kang Mamat, isinya pasti memuat seruan agar pendukung yang mati-matian membela paslon tidak saling menghina. Intinya, etika politik itu panglima.
Kedua, Rekayasa Sanubari. Panggilannya Reka. Artinya susun, atur, atau tata. Maknanya, apa pun yang Kang Mamat sampaikan di grup selalu berupa ajakan agar orang-orang bersaing tanpa menjauhi kata hati. Berbeda pendapat boleh asalkan tidak tukar-menukar caci maki.
Ketiga, Rabotase Bestari. Panggilannya Rabi. Artinya, selalu "mengingat Tuhan" dalam berkampanye. Rabotase sendiri berarti menggaruk permukaan secara hati-hati. Kang Mamat memelopori cara menyampaikan keunggulan paslon pilihan dengan hati-hati, bijak bestari, dan sarat nilai ilahiah.