Aku tak melihat tubuhmu di beranda kamus. Pekarangan berhias bunga-bunga kata segera memanjakan mata. Semerbak wangi dari kuncup yang baru mekar kontan menyerbu cuping hidung. Mataku menjelingar kanan kiri, kamu masih takada. "Lema?"
Takada sahutan. Keretak ranting leksem kering singgah di telinga. Seperti terinjak sesuatu. Saat menoleh, tikus semak bersinar mencericit keluar dari belukar entri. Orang Latin menyebut tikus itu dengan nama Grammomys poensis.
Tidak di pekarangan kamus tidak di halaman rumahku, tikus dari segala famili senang benar berunjuk rasa. Kautahu, Lema, di dapurku saja ada tikus. Celurut namanya. Orang-orang sering menyebutnya curut atau cencurut. Matanya kecil dan sipit. Tikus kesturi, begitu sebutannya dalam bahasa Melayu.
Namun, aku tidak ke sini demi membincangkan tikus. Ada sesuatu yang ingin kuobrolkan denganmu. Lema. Kamu ke mana, sih? Tidak biasanya kamu sembunyi sebegini lama. Kadang begitu mendengar dehamku saja kamu sudah nongol.Â
Kamu marah? Gara-gara apa? Jangan belikan, Lema!
Begini, Lema. Kemarin ada tetangga di apartemen Kompasiana yang berkunjung ke lapakku. Ia minta tolong. Biasa. Kamu pasti tahu. Apa lagi yang ingin tetangga ketahui dariku selain tentang kamu dan sanak kerabatmu? Hahaha. Giliran diomongkan, kamu langsung muncul.
Namanya Nursalam, Lema. Teman lama. Dulu kami sering bercakap-cakap secara taklangsung lewat milis. Ya, kamu betul. Saat itu masih riuh-riuhnya bertukar kabar lewat surat eletronik. Zaman ketika kamu mulai mencatat istilah japri alias jaringan pribadi. Kamu memang canggih, Lema. Salut!
Nah, doi menanyakan perbedaan antara pekan dan minggu. Itu dalam hal waktu. Sebenarnya aku bisa saja menjawab langsung di kolom komentar, tetapi kamu tahu sendiri. Aku enggan melakukan hal seperti itu. Lumayan kalau dijadikan satu artikel. Setidaknya aku bisa dapat 100 klik.
Lema menarik kursi kayu. Derit kayu berlanggaran dengan lantai kertas terdengar lembut. Ia masih sehat. Matanya cerah. Wajahnya bersinar. Senyumnya, o, aku tidak melihatnya karena mulut dan hidungnya tertutup masker. Lema memang disiplin dalam urusan memakai masker.
Pelan-pelan Lema mulai berbicara. Kata minggu diserap dari bahasa Portugis, katanya. Dari kata domingo. Artinya 'nama satu hari dalam satu pekan'. Domingo dipulung ke dalam bahasa Indonesia setelah disesuaikan dengan pola eja lidah Nusantara. Jadilah Minggu.
Jika menyangkut hari, kata Lema, huruf /m/ pada Minggu mesti memakai huruf kapital. Contoh: Pada hari Minggu kuturut pacar ke kota. Kenapa mesti ke kota, sih? Tolong ambil contoh lain, Lema. Itu menganjurkan tradisi urban. O, maaf, itu hanya contoh.
Adapun minggu, ditulis tanpa huruf kapital, berarti 'jangka waktu selama tujuh hari'. Urutannya hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Lema memegang dadanya. Batuk-batuk. Meminta maaf. Lalu, ia mengatakan bahwa terkait jangka waktu selama tujuh hari dapat juga disebut pekan.
Selain itu, kata Lema, kita juga bisa memakai akhir pekan atau akhir minggu untuk mengganti kata weekend. Tidak usah keminggris, katanya. Jadi: (5) Selamat berakhir pekan; (6) Selamat berakhir minggu. Contoh (5) sudah lazim kita dengar, sedangkan contoh (6) masih jarang dipakai.
"Berarti dalam perkara waktu, pekan dan minggu sama saja?" Lema tidak menjawab pertanyaanku. Ia memelotot. Jika sudah begitu, ia sebenarnya mau berkata "kamu nyimak enggak, sih?" atau "aku sudah ngomong begitu dari tadi, bahlul".
Tidak ada hari Pekan, katanya. Sebab, pekan tidak bisa menggantikan minggu dalam urusan "nama hari". Tidak ada juga Minggu Budaya, katanya. Sebab, minggu tidak bisa menggantikan pekan dalam perkara "pesta atau kegiatan yang digelar untuk memperlombakan atau memamerkan sesuatu".
Pekan, kata Lema, kemungkinan besar berakar dari bahasa Melayu. Pekan juga memiliki arti 'pasar'. Contoh: (7) Mama ke pekan untuk  membeli telur; (8) Papa berdagang telur di pekan. Lo, berarti Mama membeli telur di kios Papa? Lema menggeleng. Mereka berbeda pekan, katanya.
Ternyata Lema sedang lapar. Ah. Padahal, aku ke sini dengan alasan yang sama. Aku berharap Lema punya segelas kopi dan sepiring camilan kenangan yang baru saja dihangatkan. Ternyata tidak ada. Ah. Korona bikin susah. Korona memaksa Lema dan penulis recehan sama-sama menahan lapar.
Pret. Bunyi kentut mengoyak angkasa. Sepertinya cawat Lema sobek akibat terdorong angin berbau menyakitkan hidung. Ia buru-buru berdiri dan menghilang di balik semak-semak. Ia pasti mencari jamban. Batas sakit perut gara-gara lapar dan ingin berak memang sangat tipis. Alangkah!
Salam takzim, Khrisna Pabichara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H