Jangan ingat, fotografer kadang masih menggocoh alias memberikan sentuhan ringan pada fotonya. Sentuhan itu biasanya dilakukan lewat aplikasi pemoles gambar. Nah, penulis juga begitu. Sekadar menyusun kalimat dan menata paragraf mah banyak yang bisa. Beda perkara dengan menghasilkan tulisan yang gurih, renyah, dan bergizi. Tidak semua orang bisa, Kawan.
Sudahlah, tidak perlu melebar ke mana-mana. Langsung saja. Apa taktik ketiga?
Penulis juga harus begitu. Kita tidak boleh kalah telaten. Tulisan kelar, baca-baca dulu. Tinggalkan, bikin kopi atau teh. Santai dulu sejenak. Baca lagi, simpan lagi. Dengar musik dulu. Baca lagi, simpan lagi. Baru tayangkan di blog atau di mana saja tempat kita biasa memajang tulisan.
Itu pun tidak asal main unggah. Kita mesti memahami psikologi pembaca. Kita harus tahu kapan warga internet meluangkan waktu untuk membaca. Bukan hanya itu. Kita juga mesti menyebar tulisan lewat medsos.
Perkara sebar-sebar tulisan juga ada hukumnya. Jam tayang di Twitter dan Instagram berbeda dengan jam tayang di Facebook. Target pembaca juga harus kita perhatikan. Kalau tulisan kita untuk generasi kolonial, pilih momen yang pas. Kalau buat generasi milenial, cari tahu momen yang tepat.
Ribet juga, ya, tapi tidak apa-apa. Cukup informatif. Saya punya pertanyaan terakhir. Kapankah waktu tayang yang pas di Facebook, Twitter, dan Instagram?
Aduh, Kawan, cari tahu sediri. Kamu itu sudah besar. Jadi penulis mesti gesit. Masak semua hal harus saya suapkan ke mulutmu?
Salam takzim, Khrisna Pabichara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H