Mohon tunggu...
Khrisna Pabichara
Khrisna Pabichara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, Penyunting.

Penulis; penyunting; penerima anugerah Penulis Opini Terbaik Kompasianival 2018; pembicara publik; penyuka neurologi; pernah menjadi kiper sebelum kemampuan mata menurun; suka sastra dan sejarah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Meminta Maaf Itu (Tidak) Mudah, Puan

9 September 2020   14:19 Diperbarui: 9 September 2020   14:52 772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hal itu justru merugikan Puan dan PDIP. Padahal, Puan tidak perlu berkecil hati. Pertarungan politik selalu dinamis, bukan sesuatu yang bersifat “sekali untuk selamanya”. Kemenangan dan kekalahan bersifat fana. Hari ini pemenang besok-besok bisa jadi pecundang. Sebaliknya juga begitu. 

Kalaupun masyarakat se-Sumbar marah akibat pernyataan Puan, ya, Puan berlapang dada saja. Hitung-hitung sudah mengatrol pamor sekalipun bukan pada sisi elektabilitas positif. Tidak apa-apa. Kalau Puan ingin mendongkrak citra positif, silakan meminta maaf kepada masyarakat Sumbar. Urusan kelar, citra positif terkatrol.

Selain itu, meminta maaf kepada masyarakat setelah mengeluarkan pernyataan negatif dapat melahirkan pandangan positif masyarakat terhadap politik dan demokrasi. Pendapat orang tentang Puan pun bisa berubah dari negatif ke agak positif. Alangkah pilu hati kita apabila pilkada menjadi ajang peretakan harkat kemanusiaan dan kenegaraan.

Petuah Nurcholish Madjid layak dijadikan cermin. Dalam Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan (1996: 170), Nurcholish menyatakan bahwa pertumbuhan demokrasi menghendaki agar partai politik benar-benar menjalankan tugasnya sebagai pengenal, perumus, serta pejuang kepentingan dan tuntutan dasar rakyat.

Dengan kata lain, partai politik dan seluruh elitenya adalah “pelayan” kepentingan rakyat. Bukan sebaliknya, rakyat yang dijadikan“pelayan” partai politik sehingga setiap saat harus mau dan mampu menerima, memahami, dan memaklumi ulah konyol elite politik.

Justru politisi, partai politik, dan pemerintah yang harus “melayani rakyat”. Kekuasaan yang dimiliki oleh politisi berasal dari suara rakyat. Dengan demikian, kekuasaan adalah mandat untuk menjalankan amanat pemanusiaan. Dalam hal ini, pemanusiaan adalah menjadikan manusia sebagai manusia atau memanusiakan manusia.

Kursi yang sekarang diduduki oleh Puan merupakan amanat rakyat, sekalipun Puan bukan pilihan atau tidak dipilih oleh masyarakat Sumbar. Sungguh, kekuasaan yang menjadikan doominasi atas segala sesuatu dapat menimbulkan dampak buruk bagi perjalanan demokrasi.

Pernyataan Puan, misalnya, telah menghadirkan gesekan emosional yang luar biasa. Gesekan itu akan menjadi bahaya laten selama Puan tidak mengambil sikap yang tepat dan jelas. Puan harus segera membantu upaya memanusiakan manusia, menumbuhkan persaingan politik yang sehat, dan mempromosikan penghormatan dan penghargaan kepada orang lain.

Meminta Maaf

Salah satu elemen penting yang dibutuhkan oleh politisi adalah kepercayaan. Dalam kehidupan sehari-hari, kepercayaan sangat memengaruhi kualitas hubungan antarmanusia. Tatkala kepercayaan retak atau hilang maka hubungan akan terpengaruh.

Hal serupa terjadi pada hubungan antara politisi dan publik. Saya yakin bahwa Puan pasti menyadari urgensi relasi itu. Saat ini Puan tengah berada di bibir jurang kepercayaan masyarakat Sumbar, bisa jadi memengaruhi pula masyarakat di provinsi lain, dan tinggal dijorongkan sedikit saja sudah jatuh terguling-guling ke kaki tebing.

Meskipun begitu, kepercayaan yang hilang bisa dikembalikan. Caranya mudah, yakni dengan meminta maaf. Hanya saja meminta maaf bukanlah perkara mudah. Ego kadang ikut menahan gairah meminta maaf itu.

Ketua DPR RI, petinggi parpol yang tengah berkuasa, dan cucu proklamator bisa menutupi kebesaran hati dan kenegarawanan Puan. Andaikan itu terjadi, mustahil rasanya melihat Puan Maharani berkenan meminta maaf kepada masyarakat Sumbar.

Angela Bisignano, psikolog di Good Therapy, menandaskan bahwa manusia memiliki kecenderungan susah meminta maaf. Kadang seseorang urung meminta maaf karena disergap rasa cemas dan takut. Cemas akan dipermalukan dan takut tidak akan dimaafkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun